> >

Cerita Puasa Ramadan di Swedia, Negara Tanpa Matahari Terbit dan Tenggelam

Cerita | 13 April 2022, 14:22 WIB
Cerita umat Islam puasa Ramadan di Swedia, negara yang kerap tak memiliki matahari terbit dan tenggelam. (Sumber: Al Jazeera)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Aturan puasa Ramadan menurut Islam adalah menahan haus dan lapar dari terbit fajar hingga tenggelamnya matahari.

Lantas, bagaimana cerita Muslim puasa Ramadan di Swedia, negara yang tak memiliki matahari terbit dan tenggelam?

Tidak seperti Indonesia yang memiliki 12 jam waktu siang dan 12 jam waktu malam, ada beberapa negara yang tidak merasakan gelap, termasuk Swedia.

Meskipun malam hari, langit Swedia tidak gelap seperti di Indonesia, melainkan masih terang dan matahari masih bersinar.

Fenomena ini dinamakan Midnight Sun. Hal tersebut terjadi karena posisi Swedia berada pada bagian utara Bumi.

Saat musim panas (Juni-Agustus) Kutub Utara akan lebih condong ke arah Matahari, sehingga menyebabkan negara-negara di utara Bumi lebih banyak mendapat sinar matahari dalam sehari.

Namun, saat musim dingin (November-Maret) belahan bumi utara menjauh dari matahari, ini menjadi penyebab suhu di utara ekuator lebih dingin.

Baca Juga: Wajib Ada di Meja Makan, Ini 5 Makanan Khas Ramadan di Berbagai Negara

Selain Swedia, Finlandia, Greenland, Kanada dan Norwegia juga mengalami fenomena yang sama.

Bisa dibilang, Ramadan di Swedia bisa sampai 25 jam ketika Ramadan jatuh di musim panas, namun, bisa berdurasi 2 jam jika Ramadan jatuh di musim dingin.

Melansir Aljazeera, pada tahun 2014, diperkirakan 700 Muslim menghabiskan Ramadan di kota pertambangan Kiruna, yang terletak 145 km utara Lingkaran Arktik dan dikelilingi oleh pegunungan berselimut salju sepanjang musim panas. 

Ghassan Alankar, pendatang dari Suriah sempat menceritakan bagaimana kisahnya puasa di Swedia.

"Saya memulai Ramadan dengan sahur dengan matahari bersinar di mata saya pada pukul 3:30 pagi,” kata Ghassan Alankar.

"Saya memasang tirai ganda di kamar saya dan masih ada cahaya ketika saya akan tidur," ujarnya.

Karena tidak ada otoritas pusat Islam yang dapat mengeluarkan keputusan agama yang pasti, atau fatwa, umat Islam di Swedia menggunakan setidaknya empat jadwal berbeda untuk berbuka puasa.

Alankar berpegang pada waktu Makkah, Arab Saudi.

"Karena itu adalah tempat kelahiran Islam," katanya.

Namun ia tetap khawatir apakah puasanya dapat diterima oleh Allah atau tidak.

“Saya tidak yakin saya melakukan hal yang benar. Hanya ketika saya di rumah Tuhan, jika saya berhasil ke surga, saya akan tahu," kata Alankar.

Baca Juga: Ramadan di Timur Tengah Dihantui Meroketnya Harga-Harga akibat Perang Rusia-Ukraina

Berbeda dengan Alankar, Idris Abdulwhab, dari Eritrea mengikuti fatwa ECFR, yang berarti periode puasa terlamanya adalah 20 jam.

“Nol, 15, 25 atau 45 jam, tidak masalah selama Anda percaya pada apa yang Anda lakukan. Tapi kita adalah manusia; tentu saja terkadang sulit," kata Idris.

Salah satu yang telah memilih untuk berpuasa sesuai dengan waktu sholat setempat yang terdaftar secara online adalah Fatima Kaniz. 

Di sebuah apartemen sederhana yang menghadap ke pegunungan dan fasilitas pertambangan, Fatima menyiapkan buka puasa pukul 20.30.

Saat itu pun matahari masih terus bersinar di langit Swedia. 

Ia mengingat hari pertamanya di Kiruna lima tahun lalu, di bulan Juni.

“Saya menunggu matahari terbenam agar bisa shalat magrib,” katanya.

“Saya menunggu sampai jam 3 pagi, sampai teman sekamar saya di pusat suaka menemukan saya dan menjelaskan bahwa tidak ada gunanya menunggu. Saya berpikir, 'Tempat aneh macam apa ini?'” ujar Fatima.

Selama dua pertiga Ramadhan, mengikuti waktu sholat Kiruna berarti berpuasa selama sekitar 18 jam. 

Tetapi karena pergerakan matahari, dia akan berpuasa selama 23 jam penuh pada salah satu dari hari-hari itu.

Baca Juga: KH Sholeh Darat, Ulama Tanah Jawa dan Guru RA Kartini

Ailin Abdullah dari Malaysia juga mengisahkan puasa Ramadan di Swedia pada 2021 lalu.

“Kami biasanya bangun untuk sahur pada pukul 2 atau 3 pagi; Yang pasti ini bukan waktu makan yang biasa, jadi kita sesuaikan dengan makan makanan ringan atau sekedar minuman hangat saja,” ujar Ailin, dilansir dari The Star.

Ailin menambahkan kalau buka puasa biasanya dilaksanakan sekitar jam 9 malam.

Karena Swedia tidak menerapkan lockdown di tengah pandemi Covid-19, Ailin mengatakan Ramadan tahun ini sama seperti tahun-tahun lainnya kecuali tanpa undangan buka puasa atau salat tarawih berjamaah.

“Orang-orang di sini sangat memperhatikan jarak sosial dan menjaga satu sama lain tetap aman,” tambahnya.

Puasa Ramadan 2 Jam

Pada musim dingin, ketika Ramadan jatuh di Desember, umat Islam akan menghadapi kebalikan dari midnight sun.

Selama dua minggu, matahari justru tidak terbit di atas cakrawala.

Saat itu, waktu salat juga mengikuti matahari, yang berarti bahwa selama musim dingin, semua salat lima waktu bisa jatuh dalam rentang waktu dua jam.

Ailin dan suaminya, keduanya berusia 40-an, pindah ke Swedia pada 2008 tetapi tinggal di Denmark selama enam tahun sebelumnya.

“Ramadhan pertama saya di Skandinavia adalah di musim dingin jadi hanya berlangsung dua atau tiga jam," ujarnya.

“Saya tidak merasa puasa sama sekali dan saat itu saya sedang hamil enam bulan. Meskipun ini adalah negara non-Muslim, saya merasa kami telah melakukannya dengan sangat baik dalam cara kami ingin mempraktikkan keyakinan kami,” katanya.

Disebutkan, terakhir kali Ramadhan jatuh di bawah malam pertengahan musim dingin, pada tahun 2000.

 

Penulis : Dian Nita Editor : Desy-Afrianti

Sumber : Al Jazeera, The Star


TERBARU