> >

Tarawih Dua Puluh atau Delapan? Begini Rakaat Tarawih Menurut KH. Ali Mustafa Yakub

Amalan | 3 Mei 2021, 18:17 WIB
KH. Ali Mustafa Yaqub (Sumber: islami.co)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Di Indonesia, ada dua versi pelaksanaan salat tarawih: dua puluh dan delapan rakaat.

Perdebatan lama ini masih kita jumpai di beberapa tempat. Lalu, bagaimana sebenarnya?

Menurut Ali Mustafa Ya’qub, berdasarkan kajiannya semua periwayatan dari Nabi Saw. yang dijadikan landasan jumlah rakaat, dua-duanya didasarkan pada riwayat yang sangat lemah, bahkan ada yang maudhu’.

Salah satu hadis lemah tentang salat tarawih 20 rakaat adalah hadis riwayat al-Thabrani jalur Ibn Abbas yang mengatakan bahwa Nabi Saw salat di bulan Ramadhan 20 rakaat dan satu witir.

Kelemahan hadis ini karena di dalam sanadnya terdapat perawi beranama Abu Shaibah Ibrahim bin Uthman yang dinilai oleh para ulama sebagai seorang pendusta. Sehingga, hukum hadis tersebut palsu minimal matruk (semi palsu).

Baca Juga: Bolehkah Meninggalkan Salat Tarawih karena Sibuk Bekerja?

Sedangkan hadis lemah tentang salat tarawih 8 rakaat adalah hadis riwayat al-Thabrani melalui Jabir bin Abdillah yang mengatakan:

“Rasulullah Saw salat bersama kami di bulan Ramadan 8 rakaat dan beliau melaksanakan witir, Dan ketika orang-orang telah berkumpul di masjid (hendak shalat bersama beliau), kami mengharapkan Rasulullah saw shalat bersama kami, namun beliau berkata: 'sungguh aku khawatir atau aku tidak ingin hal ini menjadi suatu kewajiban bagi kalian'”.

Beberapa pengkaji hadis menilai, kelemahan riwayat itu terdapat pada rawi Isa bin Jariyah karena ia adalah seorang pendusta.

Menurut Ali Mustafa, hadis yang paling sahih untuk dijadikan dasar salat tarawih adalah riwayat Abu Hurairah di dalam Shahih al-Bukhari:

“Rasulullah Saw bersabda: 'Siapa yang menjalankan qiy m Ramadan karena beriman dan mengharapkan pahala dari Allah Swt, maka dosa-dosanya (yang kecil) yang telah lalu akan diampuni'.”

Melalui hadis ini, Ali Mustafa menyimpulkan bahwa berapapun jumlah rakaat tarawih, baik 4 raka’at, 8 rakaat, 10 rakaat, 20 rakaat, 38 rakaat, atau bahkan 110 rakaat itu sah dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad Saw.

Dengan catatan, tetap ikhlas karena Allah Swt, khusyuk, dan menjauhi segala yang mengurangi nilai atau bahkan membatalkan salat tarawih itu sendiri.

Baca Juga: Terasa Mewah dan Meriah, Ini Cerita Ramadan dari Dubai

Terkait perdebatan jumlah rakaat tarawih ini, Ali Mustafa menghimbau agar dalam melaksanakan salat tarawih tidak berdasarkan selera atau hawa nafsu. Semisal, memilih pelaksanaan salat tarawih yang lebih cepat agar praktis.

Sebab menurutnya, beribadah itu menuruti perintah Allah melalui dalil-dalil agama, bukan menuruti selera.

Adapun hadis sahih riwayat Aisyah Ra yang dijadikan dasar oleh sementara orang dalam melaksanakan salat tarawih delapan rakaat dianggap Ali Mustafa kurang tepat. Hadis tersebut terdapat di dalam sahih al-Bukhari:

Abi Salamah bin Abdurrahman menanyakan kepada Aisyah Ra tentang salat Rasulullah Saw di bulan Ramadan, lalu Aisyah Ra berkata:

"Rasulullah Saw tidak pernah salat lebih dari sebelas rakaat baik pada bulan Ramadan maupun bukan Ramadan. Beliau salat empat rakaat, maka jangan tanyakan tentang baik dan panjangnya salat beliau, kemudian beliau salat empat rakaat, maka jangan tanyakan tentang baik dan panjangnya salat beliau, kemudian beliau salat tiga rakaat, maka aku bertanya, wahai Rasulullah saw engkau tidur sebelum melakukan witir? Rasulullah Saw menjawab: 'mataku tidur, namun hatiku tidak'".

Menurut Ali Mustafa, hadis tersebut merupakan hadis tentang salat witir, bukan hadis salat tarawih. Dan di dalam riwayat tersebut dengan tegas Aisyah ra. mengatakan bahwa Nabi Saw tidak pernah salat lebih dari sebelas rakaat baik pada bulan Ramadan maupun bukan Ramadan.

Salat yang dilakukan pada malam hari sepanjang tahun, baik pada Ramadan maupun bukan, tentu bukan salat tarawih. Sebab, salat Tarawih hanya dilakukan pada bulan Ramadan.

Para Ulama pun berpendapat bahwa hadis Aisyah tersebut adalah hadis tentang salat witir.

Pada umumnya para ulama menempatkan hadis Aisyah itu pada bab salat witir atau salat malam, bukan pada bab salat tarawih. Seperti dalam a Muslim, Sunan Abi Da d, Sunan al-Nas dan al-Muwa a’.

Ali Mustafa menganggap kurang tepat jika orang menjadikan hadis Aisyah tersebut sebagai dalil untuk salat tarawih delapan rakaat dan witir tiga rakaat. Karena menjadikan dalil satu paket salat witir dipenggal menjadi dua, delapan rakaat untuk tarawih dan tiga rakaat untuk witir.

Baca Juga: Pertemuan Mahfud MD- Cak Imin Jelang Salat Tarawih, Ada Apa?

Sementara itu, Ali Mustafa mengatakan bahwa salat tarawih yang berjumlah dua puluh rakaat itu bukan bid’ah sebagaimana anggapan sebagian orang, bahkan dalilnya jelas.

Pertama, pada hadis sahih di mana Nabi Saw tidak membatasi jumlah rakaat tarawih seperti yang tersebut di atas.

Kedua, hadis mauquf, bahwa Sahabat Ubay bin Ka’ab diperintah oleh Umar bin Kha b untuk menjadi imam salat tarawih di masjid dua puluh rakaat.

Sementara, hadis mauquf itu statusnya sama dengan hadis marfu’ atau hadis yang disandarkan kepada Nabi Saw apabila hal itu tidak berkaitan dengan masalah ijtihadiyyah, dan salat tarawih tidak termasuk masalah ijtihadiyyah.

Ketiga, ijma’ atau kesepakatan para sahabat yang diikuti oleh Abu Hanifah, al-Sy fi’ , dan A mad bin anbal.

Demikianlah, salah satu kontribusi pemikiran Ali Mustafa Yaqub yang mencoba menengahi perbedaan pendapat tentang salat tarawih di Indonesia dengan riwayat yang sahih, bahkan karena fatwanya yang mengatakan berapapun salat tarawih dilaksanakan tetap sah.

Sehingga, masjid Mujahidin yang letaknya di belakang kediaman Ali Mustafa setiap bulan Ramadan dilaksanakan salat tarawih berjumlah 10 rakaat.

Baca Juga: Sudah Salat Tarawih dan Witir, Perlukah Mengulang Witir Setelah Salat Tahajud?

Untuk diketahui, Ali Mustafa Ya’qub merupakan tokoh hadis kontemporer di Indonesia. Ia dinobatkan sebagai Guru Besar Ilmu Hadis pada 3 Desember 1998 di Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta.

Ali Mustafa dikenal sebagai tokoh yang melakukan kajian kritik sanad dan matan terhadap hadis. Guna menelisik apakah suatu hadis bisa diterima atau ditolak. Salah satu hadis yang ia kritik adalah hadis tentang shalat tarawih tersebut.

Sebenarnya, pada zaman Nabi Muhammad Saw tidak dikenal istilah salat tarawih. Hadis-hadis di atas yang diulas pun tidak menyebutkan istilah tarawih. Pada masa tersebut salat sunnah yang khusus dilakukan pada bulan Ramadan dikenal dengan qiy m ramadh n.

Istilah 'Salat Tarawih' diperkirakan muncul dari penuturan Aisyah istri Nabi Saw melalui riwayat al-Baih qi, Aisyah mengatakan:

“Nabi Saw. shalat malam empat rakaat, kemudian yatarawwah (istirahat), dan kemudian shalat panjang sekali.”


***

Artikel kolaborasi ini pertama diterbitkan di islami.co dengan judul Rakaat Tarawih Menurut KH. Ali Mustafa Yaqub oleh Annisa Nurul Hasanah

Penulis : Hedi Basri Editor : Eddward-S-Kennedy

Sumber : Kompas TV


TERBARU