> >

Setelah Inggris dan Rusia, 19 Negara Uni Eropa Berpotensi Menyusul Masuk ke Jurang Resesi

Ekonomi dan bisnis | 18 November 2022, 10:54 WIB
Seorang perempuan yang memakai payung berdiri di depan gedung Bank Inggris di distrik keuangan London, Kamis, 3 November 2022. Resesi yang dialami Rusia dan Inggris, dua negara di luar Uni Eropa, diproyeksi akan segera menular ke negara-negara Uni Eropa lainnya. (Sumber: AP Photo/Kin Cheung)

 

JAKARTA, KOMPAS.TV - Rusia dan Inggris jatuh ke dalam jurang resesi setelah pertumbuhan ekonomi minus untuk dua kuartal berturut-turut. Resesi yang dialami dua negara di luar Uni Eropa itu diproyeksi akan segera menular ke negara-negara Uni Eropa lainnya. 

Bank Sentral Eropa (ECB) melihat kemungkinan peningkatan resesi di 19 negara yang menggunakan mata uang euro.

Penyebab utamanya adalah melonjaknya harga energi dan inflasi tinggi akibat perang Rusia di Ukraina. Hal itu meningkatkan risiko kerugian perbankan dan gejolak di pasar keuangan.

“Masyarakat dan perusahaan sudah merasakan dampak kenaikan inflasi dan perlambatan aktivitas ekonomi,” kata Wakil Presiden ECB Luis de Guindos seperti dilansir Associated Press, Jumat (18/11/2022). 

"Risiko terhadap stabilitas keuangan telah meningkat, sementara resesi teknis di kawasan euro menjadi lebih mungkin terjadi," ujar de Guindos. 

Data yang terdapat dalam laporan ECB yang dirilis pada Rabu (16/11/2022) menunjukkan, peluang terjadinya resesi di zona euro dan Inggris Raya pada setahun depan sebesar 80 persen dan di Amerika Serikat sebesar 60 persen.

Baca Juga: Putin Mumet, Rusia Dilaporkan Susul Inggris Masuki Resesi Ekonomi

Ada 27 negara yang menjadi anggota Uni Eropa. Lebih dari setengahnya mengalami inflasi dua digit pada Oktober lalu, yaitu Jerman 11,6 persen, Belanda 16,8 persen, Italia 12,8 persen, dan Slowakia 14,5 persen. 

Di wilayah Baltik, seperti Estonia-Lihtuania-Latvia bahkan inflasinya mencapai 21 persen. Sementara Prancis inflasinya paling rendah di kawasan Uni Eropa yaitu 7,1 persen. 

Apa yang dialami Rusia dan Inggris disebut sebagai resesi teknis. Banyak ekonom dan Komisi Eksekutif Uni Eropa telah memperkirakan resesi teknis selama tiga bulan terakhir tahun ini dan paruh pertama tahun depan, karena harga utilitas yang tinggi dan biaya makanan merampas daya beli konsumen.

Resesi teknis terjadi saat output ekonomi turun selama dua kuartal atau lebih secara berturut-turut. Namun ekonom di komite penanggalan siklus bisnis zona euro, menggunakan informasi yang lebih luas untuk menentukan resesi, seperti angka pengangguran dan kedalaman penurunan produk domestik bruto (PDB). 

Ekonomi zona euro tumbuh 0,2 persen pada periode Juli-September 2022. Ekspektasi para ekonom adalah bahwa pertumbuhan akan berlanjut pada musim semi berikutnya karena inflasi turun dari tingkat puncaknya dan tekanan pada pasokan gas alam saat musim dingin mereda.

Baca Juga: Jokowi Dapat Bisikan, 28 Negara Sudah Antre Jadi Pasien IMF untuk Minta Bantuan

"Inflasi tinggi menyebarkan pengaruhnya ke seluruh ekonomi, meningkatkan kemungkinan bahwa bank akan melihat lebih banyak kerugian dari pinjaman dan perusahaan tidak akan dilunasi," tulis ECB dalam laporan tersebut.

Sementara itu, ketidakpastian tentang seberapa tinggi dan berapa lama inflasi akan berlangsung, telah meningkatkan risiko penyesuaian harga aset yang tidak teratur di pasar keuangan.

Di luar itu, tekanan tumbuh pada orang, perusahaan, dan pemerintah yang lebih banyak berutang daripada yang lain.

Inflasi, yang mencapai tingkat tahunan sebesar 10,7 persen di zona euro pada bulan Oktober, didorong oleh Rusia yang memotong sebagian besar pasokan gas alam ke Eropa di tengah perang di Ukraina.

Itu membuat harga gas alam naik tajam dan menaikkan harga listrik dan proses industri yang menggunakan banyak panas bumi atau gas alam.

Para politisi menyebut penghentian itu sebagai upaya Presiden Rusia Vladimir Putin untuk merusak dukungan pemerintah Eropa untuk Ukraina.

Namun eksportir gas Rusia, Gazprom, menyebut pemotongan pasokan itu disebabkan masalah teknis dan penolakan beberapa importir untuk membayar dengan mata uang rubel.

Baca Juga: JK Ajak Masyarakat Optimistis di 2023: Resesi Tidak Banyak Sentuh Asia Tenggara

Sebelum perang, Eropa dan khususnya ekonomi terbesarnya, Jerman, bergantung pada Rusia sebagai pemasok utama minyak dan gas alam.

Harga minyak juga telah meningkat di pasar global karena beberapa pelanggan Barat memboikot minyak Rusia dan pada 5 Desember mendatang Eropa akan melarang pengiriman minyak mentah Rusia lewat laut.

Namun sampai saat ini, secara keseluruhan, ECB mengatakan sistem perbankan zona euro berada pada posisi yang baik untuk mengatasi risiko tambahan.

Bank sentral tersebut memperingatkan pemerintah yang berutang agar berhati-hati untuk menghindari menambah utang, melalui pengeluaran untuk bantuan energi bagi konsumen dan untuk memastikan program semacam itu ditargetkan pada orang yang paling membutuhkan.

Penulis : Dina Karina Editor : Edy-A.-Putra

Sumber : KOMPAS TV/Associated Press


TERBARU