> >

Akankah Stagflasi yang pernah Terjadi Tahun 1970-an Bisa Terulang Tahun Ini?

Ekonomi dan bisnis | 1 Oktober 2022, 13:21 WIB
Ilustrasi - Bank Dunia memperingatkan bahwa kondisi ekonomi global belakangan ini membuat risiko stagflasi semaki nyata.  (Sumber: Straits Times)

Namun, proyeksi ekonomi global Bank Dunia yang semakin suram dan faktor-faktor lain membuat isu stagflasi semakin santer dibicarakan.

Sekitar 50 tahun lalu, kalangan ekonom menganggap fenomena stagflasi sebagai sesuatu yang hampir tidak mungkin. Ekonom masih mengamini teori Kurva Phillips yang dicetuskan A.W.H. “Bill” Phillips (1914-1975), ekonom asal Selandia Baru.

Teori Phillips mengklaim bahwa inflasi dan tingkat pengangguran bergerak ke arah berlawanan, tidak bisa sama-sama memburuk. Wiseman mengumpamakan teori Phillips sebagai berikut:

Jika ekonomi lemah dan banyak pengangguran, bisnis akan kesulitan meningkatkan harga-harga karena tidak akan ada yang mampu membelinya. Demikian, angka inflasi akan tetap rendah.

Di lain sisi, jika ekonomi cukup bergairah untuk mengakomodasi kenaikan harga-harga, maka tingkat pengangguran yang berpengaruh ke daya beli konsumen seharusnya tetap rendah.

Akan tetapi, realitas ekonomi ternyata tidak demikian. Hal yang mengacaukan teori Phillips adalah disrupsi mendadak pada rantai pasokan.

Misalnya, kenaikan tiba-tiba harga-harga material mentah yang memicu inflasi dan melemahkan daya beli konsumen untuk menggerakkan ekonomi.

Hal itulah yang terjadi pada 1970-an. Berawal dari embargo minyak Arab Saudi dan negara-negara penghasil minyak lain.

Arab Saudi dan sejumlah negara mengembargo AS dan negara lain yang mendukung Israel dalam Perang Yom Kippur pada 1973.

Embargo itu memicu krisis minyak dan stagflasi di negara-negara Barat. Di AS, pada 1974-1982, inflasi dan tingkat pengangguran melampaui 5 persen.Ini kemudian merembet ke negara-negara lain yang berpotensi menimbulkan krisis ekonomi beruntun.

Baca Juga: Ekonomi Dunia Alami Resesi, Bagaimana Kondisi Indonesia Saat Ini?

Pasalnya, bank sentral perlu mengatasi stagflasi dengan menaikkan suku bunga cukup tinggi hingga menyebabkan resesi.

“Pemulihan stagflasi pada 1970-an memerlukan penaikkan suku bunga yang cukup tajam di negara-negara berekonomi maju, yang mana memainkan peran menonjol dalam memicu serangkaian krisis finansial di negara-negara berkembang dan emerging market,” demikian tulis laporan Bank Dunia.

Lebih lanjut, Bank Dunia merekomendasikan kepada pemangku kebijakan agar tidak membuat kebijakan yang "mengganggu" seperti kontrol harga, subsidi, dan larangan ekspor.

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV/Berbagai sumber


TERBARU