> >

Rupiah Rp15.200/Dollar AS, Indonesia Bisa Kerepotan Karena Bahan Pangan Masih Impor

Ekonomi dan bisnis | 29 September 2022, 16:03 WIB
Petugas kasir menghitung mata uang rupiah di gerai penukaran mata uang asing Ayu Masagung, Kwitang, Jakarta Pusat, Senin (25/2/2019). Nilai tukar rupiah tembus Rp15.200 pada perdagangan Kamis (29/9/2022). (Sumber: Kompas.tv/Ant)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Nilai tukar rupiah menembus angka Rp15.200 pada perdagangan Kamis (29/9/2022) per dollar AS. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai, pelemahan nilai tukar rupiah disebabkan oleh beberapa faktor.

Salah satunya adalah karena kekhawatiran para investor, terutama investor di negara maju terkait dengan agresivitas dari suku bunga acuan Bank Sentral Amerika Serikat.

"Dan itu yang menyebabkan faktor kedua yaitu adanya resiko resesi ekonomi yang melanda secara global baik negara maju negara berkembang. Sehingga investor cenderung mengalihkan asetnya kepada aset yang lebih aman atau aset yang berdenominasi pada dolar AS," kata Bhima kepada reporter Kompas TV Cindy Permadi, Kamis (29/9).

Tingginya permintaan terhadap dollar AS bisa dilihat dari indeks atau perbandingan antara mata uang dolar AS dengan 6 mata uang utama dunia lainnya. Dimana indeks dollar tercatat sebesar 114 .

Baca Juga: Beda dari Resesi Ekonomi, RI Pernah Alami Krisis Ekonomi Parah pada 1998

Menurut Bhima, penguatan dollar akan terus berlanjut. Ia menyarankan pemerintah untuk segera mengantisipasi pelemahan nilai tukar karena akan membuat barang-barang impor menjadi lebih mahal.

"Baik biaya bahan baku maupun juga barang jadi atau barang konsumsi itu akan mengalami kenaikan. Kemudian spesifik lagi adalah bahan pangan karena pangan ini merupakan yang paling fundamental," ujar Bhima.

"Dimana sebagian ketergantungan impor pangan Indonesia cukup besar. Gula, garam, bawang putih kedelai, gandum, ini yang mengalami kenaikan dan bisa memicu terjadinya imported inflation atau inflasi karena biaya impor menjadi lebih mahal," sambungnya.

Ia menambahkan, hal di atas tentu akan menekan daya beli masyarakat dan membuat prospek pemulihan ekonomi menjadi terganggu.

Baca Juga: Bujet Bulanan Menipis karena Harga-harga Naik, Ini Daftar Investasi dengan Modal Kecil

Yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan bank Sentral, lanjut Bhima, adalah menarik devisa hasil ekspor yang semenjak satu semester terakhir ditopang oleh batubara-sawit yang harganya cukup baik.

"Nah kita tidak menginginkan devisa hasil ekspor ini disimpan di perbankan luar negeri. Kita ingin ditarik pulang dengan berbagai jalan baik insentif maupun kebijakan yang mungkin lebih represif sehingga suplai dari valas di dalam negeri pun juga meningkat," tuturnya.

Selanjutnya, pemerintah harus memperkuat fundamental perekonomian yang ditopang oleh UMKM dan industri pengolahan. Pasalnya, UMKM adalah salah satu penyerap tenaga kerja yang cukup besar.
 

Sehingga ketika terjadi pelemahan nilai tukar, UMKM yang menjadi penopang dari bahan baku dalam negeri kemudian pasarnya juga adalah pasar lokal ini bisa menahan guncangan dari eksternal.

Berikutnya adalah kebijakan suku bunga. Bhima setuju suku bunga memang harus dinaikkan tapi harus ada insentif juga ke sektor properti dan sektor otomotif yang terdampak dari naiknya tingkat suku bunga.

Baca Juga: BLT Ojol Cair Rp150.000/Bulan, Asosiasi Minta Tambah 2 Kali Lipat dan Subsidi Pertalite

"Karena suku bunga yang naik artinya bunga KPR juga meningkat, masyarakat mungkin akan mengurangi pembelian dari properti. Ini harus dipikirkan akses akses negatifnya," terang Bhima.

Kemudian soal pangan, harus dipastikan bagaimana menjaga produksi pangan dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor pangan.

Pemerintah juga harus bisa mencari substitusi pangan. Misalnya gandum dengan mokas dan sorgum di Indonesia bagian timur.

"Sehingga kita tidak terlalu bergantung pada fluktuasi nilai tukar yang mempengaruhi stabilitas harga pangan," tandas dia.

Penulis : Dina Karina Editor : Purwanto

Sumber : KompasTV


TERBARU