> >

Petani Sawit Hadapi Kerumitan Regulasi dan Birokrasi, Target Peremajaan Lahan Terus Menurun

Kebijakan | 2 September 2022, 13:34 WIB
Ilustrasi perkebunan kelapa sawit.Target pemerintan meremajakan 500.000 hektar kebun sawit rakyat selama 2020-2022. (Sumber: Tribunnews.com)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Para petani sawit rakyat kesulitan memenuhi syarat-syarat legalitas lahannya. Padahal, legalitas tersebut diperlukan untuk bisa memenuhi target pemerintan dalam meremajakan 500.000 hektar kebun sawit rakyat selama 2020-2022.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Rino Afrino menyebutkan bahwa amanat Presiden Joko Widodo pada Jumat, 29 Mei 2020 jelas menyatakan agenda strategis yang berdampak langsung pada kepentingan rakyat harus dipercepat, seperti program sertifikasi tanah untuk rakyat, reforma agraria, perhutanan sosial, dan peremajaan perkebunan rakyat.

Namun, sejumlah persyaratan untuk mewujudkan tujuan itu justru sulit dipenuhi petani.

Soal kriteria lahan misalnya, beberapa hal sulit dipenuhi petani, seperti sertifikat hak milik (SHM) atau dokumen penguasaan tanah dibuktikan dengan surat pernyataan penguasaan fisik sesuai ketentuan.

Lalu soal SHM yang tidak sama dengan identitas pekebun, serta lahan tidak berada di kawasan hutan, lahan gambut, dan atau lahan hak guna usaha (HGU).

“Padahal, 80 persen petani pemegang sertifikat namanya tidak sesuai dengan nama di sertifikat,” kata Rino pada webinar Kompas Talk bertajuk ”Permasalahan Lahan dan Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Petani Kelapa Sawit” di Jakarta, Kamis (1/9/2022).

Baca Juga: Realisasi Dana Peremajaan Sawit Tahun 2021 Menurun Jadi Rp 1,26 Triliun

Selain itu, lanjutnya, ketentuan soal lahan tidak berada di kawasan hutan, lahan gambut, dan atau lahan HGU jadi masalah mendasar pada program peremajaan sawit.

Hal itu kemudian berimbas pada realisasi program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang justru cenderung turun tiga tahun terakhir, yakni dari 92.066 hektar tahun 2020 menjadi 27.747 ha tahun 2021 dan baru 1.582 ha tahun ini.

Rino menuturkan, berdasarkan sejumlah kajian, penurunan realisasi itu terjadi juga disebabkan aspek kerumitan birokrasi serta problem hukum terkait penggunaan hibah dana perkebunan.

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU