> >

Secara Hukum, Wajib Enggak Sih Lunasin Utang Pinjol Ilegal? Ini Penjelasannya

Ekonomi dan bisnis | 30 November 2021, 15:56 WIB
Ilustrasi. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus dalam konferensi pers penggerebekan pinjol ilegal di Ruko Kelapa Gading, Indo Tekno Nusantara Green Lake City, Ruko Karet Pasar Baru, Tanah Abang, dan di Kelapa Dua Tangsel (22/10/2021). Ditinjau dari hukum perdata dan pidana, masyarakat tidak perlu melunasi utang ke pinjol ilegal. (Sumber: Tribunnews)

JAKARTA, KOMPAS.TV- Meskipun polisi sudah menggerebek dan menangkap pelaku pinjaman online (pinjol) ilegal di berbagai daerah, nyatanya praktik pinjol ilegal masih menjerat masyarakat.

Pada 2 November lalu, seorang Ibu di Depok Jawa Barat tewas gantung diri akibat terjerat utang pinjol sebesar Rp12 juta.

Kemudian pada 22 November, seorang pria di Jakarta Barat mencoba bunuh diri karena berutang Rp90 juta kepada pinjol ilegal.

Sebenarnya, secara hukum masyarakat tidak perlu membayar utang ke pinjol ilegal. Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L Tobing menyatakan, jika ditinjau dari hukum perdata, perjanjian utang antara nasabah dengan pinjol ilegal tidak memenuhi 'suatu perjanjian' sesuai Pasal 13 KUP (Kitab Undang-Undang Perdata).

Kemudian status ilegal dari OJK membuat segala perjanjian utang antara nasabah dan pinjol ilegal tidak sah di mata hukum.

Baca Juga: OJK Curiga Ada Pencucian Uang Asing di Balik Pinjol Ilegal

"Bahwa memang dari sudut pandang hukum perdata, pinjol ilegal ini tidak memenuhi suatu perjanjian sesuai dengan Pasal 13 KUP (Kitab Undang-undang) Perdata," kata Tongam pada 22 Oktober lalu.

Pasal 13 KUP menyebutkan, pinjaman uang bisa dilakukan dengan syarat adanya perjanjian para pihak. Yaitu pinjol ilegal sebagai pihak pertama dan peminjam sebagai pihak kedua. 

Di sisi lain,  pinjol ilegal tidak terdaftar dalam administrasi pemerintah maupun OJK, sehingga ketentuan para pihak dalam hukum perdata tidak sah. 

"Pertama kesepakatan para pihak. Ini (perjanjian) secara subjektifnya pinjol ilegal ini tidak ada kesepakatan para pihak. Karena tidak ada kesetaraan, jadi ini juga tidak memenuhi syarat subjektifnya (sebagai para pihak)," ujar Tongam. 

Penulis : Dina Karina Editor : Gading-Persada

Sumber : Kompas TV


TERBARU