> >

Ditjen Pajak Jelaskan Soal Penerapan Azas Ultimum Remedium di UU HPP

Kebijakan | 13 Oktober 2021, 06:48 WIB
Ilustrasi kantor Dirjen Pajak (Sumber: Kompas/Riza Fathoni)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah disahkan DPR beberapa waktu lalu sehingga rezim perpajakan baru segera diberlakukan.

Salah satu poin dalam UU HPP tersebut yakni mengatur soal penerapan prinsip ultimum remedium dalam hukum pidana pajak.

Prinsip ultimum remedium ini pada dasarnya adalah menjadikan sanksi pidana sebagai upaya terakhir dalam penegakan hukum pajak.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Neilmardin Noor menuturkan, azas ultimum remedium dikenal dalam hukum pidana, sehingga pada penerapannya pun terkait tindak pidana bukan dalam sengketa pajak.

Penegakan hukum pidana pajak mengedepankan pemulihan kerugian pendapatan negara.

“Wajib pajak diberi kesempatan untuk mengembalikan kerugian pendapatan negara sebagai pertimbangan untuk dituntut tanpa penjatuhan pidana penjara,” terangnya, seperti dikutip dari Kontan.co.id, Rabu (13/10/2021)

Melansir dari Kemenkeu.go.id, tercatat sengketa kasus pajak di pengadilan sebanyak 14.660 kasus di tahun 2000, naik dari tahun 2019 yang sebanyak 12.882 kasus.

Baca Juga: DPR Setujui RUU HPP Jadi Undang-Undang, Simak Perubahan UU Perpajakan termasuk KUP

Adapun dari kasus jumlah kasus yang disengketakan, mayoritas berhasil dimenangkan wajib pajak dengan jumlah sebanyak 4.598 kasus, dikabulkan sebagian sebanyak 2.282 kasus.

Sementara itu, kasus yang dimenangkan Ditjen Pajak sebanyak 2.507 sengketa. Selebihnya, kasus yang tidak dapat diterima sebanyak 573 kasus, dicabut 141 kasus, dan ditambah kewajiban pajaknya hanya 6 kasus.

Neilmaldrin menyebut, penerapan ultimum remedium terhadap fiskus yang melakukan tindak pidana pajak dengan pelaku yang bukan fiskus, akan dikenakan terhadap pelaku pidana tanpa melihat statusnya.

Fiskus adalah Aparatur Pajak atau Pejabat Pajak merupakan orang ataupun badan yang memiliki tugas untuk dapat melakukan pemungutan pajak atau iuran terhadap Wajib Pajak.

“Dengan demikian, fiskus yang berstatus tersangka tindak pidana pajak akan memiliki hak yang sama untuk mengungkapkan ketidakbenaran perbuatan sesuai Pasal 8 ayat (3) UU KUP  ataupun penghentian penyidikan sesuai dengan pasal Pasal 44B UU KUP yang telah diubah melalui UU Cipta Kerja,” jelas Neilmaldrin.

Ketentuan dalam Pasal 44B tersebut pada intinya mengatur tentang wewenang menteri keuangan untuk meminta jaksa agung menghentikan penyidikan tindak pidana perpajakan demi kepentingan penerimaan negara.

Baca Juga: UU HPP Disahkan, PPN Naik 11 Persen dan Penghasilan Kena Pajak Jadi Rp50 Juta

 

Penulis : Fransisca Natalia Editor : Gading-Persada

Sumber : Kontan.co.id


TERBARU