> >

YLKI: Sudah Waktunya Bilang "Bye Bye Premium"

Ekonomi dan bisnis | 24 November 2020, 08:29 WIB
ilustrasi SPBU Pertamina dengan harga BBM Pertalite, Premium, dan Solar. (Sumber: KOMPAS.COM)

JAKARTA, KOMPASTV. Sudah di bawah 3 Menteri Energi Sumber Daya Mineral, wacana penghapusan bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium, berakhir anti klimaks. Kebijakan penghapusan Premium bukan hal yang baru di Indonesia.

Tahun 2017 lalu sebenarnya sudah ada kebijakan pengetatan konsumsi Premium di area Jawa Madura dan Bali alias Jamali. Tetapi kebijakan ini hanya bertahan sampai pertengahan 2018 karena permintaan Premium melonjak saat Lebaran.

Baca Juga: Dirumorkan Lenyap, Ini Peta Konsumsi BBM Premium

Rencana penghapusan Premium sebenarnya sejalan dengan mandat dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) No. 20 Tahun 2017. Dalam beleid tersebut, masyarakat diharapkan mengkonsumsi BBM dengan research octane number (RON) minimal 91. Sedangkan Premium memiliki nilai RON 88.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berkomentar, sudah seharusnya Premium ditinggalkan oleh masyarakat. Di dunia pun, hanya tinggal 7 negara yang masih menenggak Premium, salah satunya Indonesia.

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi mengatakan, penggunaan Premium dianggap sudah tidak sesuai dengan semangat perbaikan kondisi lingkungan yang terus digaungkan oleh negara-negara global. Memburuknya kualitas udara yang terjadi di beberapa kota besar Indonesia, termasuk Jakarta, sebagian besar disebabkan oleh polusi transportasi darat yang menggunakan BBM beroktan rendah, salah satunya Premium.

“75 persen pencemaran udara disebabkan oleh transportasi darat, khususnya kendaraan pribadi yang menggunakan BBM tidak ramah lingkungan. Kualitas udara yang buruk dapat mempengaruhi kesehatan masyarakat,” tandas Tulus, Minggu (15/11).

Menurutnya, secara umum Pertamina memiliki keandalan infrastruktur sehingga siap untuk mewujudkan penggunaan BBM ramah lingkungan. Sehingga dengan kata lain, seharusnya Pertamina sudah siap apabila Premium jadi dihapus.

Ganjalannya Regulasi Tak Sinkron

Dengan begitu, saat ini yang paling dibutuhkan adalah konsistensi  dan sinkronisasi regulasi serta sinergitas antar kementerian atau lembaga, termasuk pemerintah pusat.

Penulis : Dyah-Megasari

Sumber : Kompas TV


TERBARU