> >

Pernah "Sewot", Hubungan Dagang Indonesia-AS Mesra Lagi

Ekonomi dan bisnis | 2 November 2020, 10:21 WIB
Ilustrasi ekspor impor (Sumber: Tribunnews.com)

JAKARTA, KOMPASTV. Percikan-percikan hubungan dagang Indonesia dan Amerika Serikat, kembali menuju ke titik kemesraan.

Setelah melalui proses negosiasi selama 2,5 tahun tepatnya Maret 2018, pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui United States Trade Representative (USTR) secara resmi mengeluarkan keputusan untuk memperpanjang pemberian fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) kepada Indonesia.

Baca Juga: Proyek Smelter di Gresik Terancam Gagal, Bos Freeport Tawarkan Ini ke Pemerintah

Sederhananya, barang ekspor Indonesia yang masuk ke Amerika Serikat, tetap bebas biaya. GSP  merupakan  fasilitas perdagangan berupa  pembebasan  tarif  bea  masuk  yang diberikan secara unilateral oleh pemerintah AS kepada negara-negara berkembang di dunia, sejak tahun 1974. Indonesia pertama kali mendapatkan fasilitas GSP dari AS pada tahun 1980.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam keterangan tertulisnya, Minggu (1/11) menyebutkan, Terdapat 3.572 pos tarif  yang telah diklasifikasikan oleh US  Customs and Border Protection (CBP) pada level Harmonized System (HS) 8-digit yang mendapatkan pembebasan tarif melalui skema GSP.

Yang dicakup adalah produk manufaktur, semi manufaktur, pertanian, perikanan dan industry Berdasarkan data  statistik  dari  United  States  International  Trade Commission  (USITC), pada  tahun  2019  ekspor  Indonesia  yang menggunakan fasilitas GSP mencapai USD 2,61 miliar atau setara 13,1 persen dari total ekspor Indonesia ke AS sebanyak USD 20,1 miliar.

Dari  Januari-Agustus  2020, di  tengah  pandemi corona nilai  ekspor Indonesia yang menggunakan fasilitas GSP tercatat US$ 1,87 miliar atau naik 10,6% dari periode sama di tahun lalu.

"Dengan perpanjangan pemberian fasilitas GSP ini  diharapkan  nilai ekspor Indonesia akan semakin meningkat," ujar Retno.

Lima besar ekspor produk GSP Indonesia sampai dengan Agustus 2020 adalah:

  • HS 94042100: matras, baik karet maupun plastik senilai US$ 185 juta
  • HS 71131929: kalung dan rantai emas senilai US$ 142 juta
  • HS 42029231: tas bepergian dan olahraga sebanyak US$ 104 juta
  • HS 38231920: minyak asam dari pengolahan kelapa sawit senilai US$ 84 juta
  • HS 40112010: ban penumatik radial untuk bus atau truk senilai US$ 82 juta

Sementara, lima besar ekspor produk GSP Indonesia pada tahun 2019 adalah:

  • HS 71131929: kalung dan rantai emas senilai US$ 225 juta
  • HS 40112010: ban pneumatic radial untuk bus atau truk senilai US$ 145 juta
  • HS 42029231: tas bepergian dan olahraga sebanyak US$ 142 juta
  • HS 71131950: perhiasan dari logam berharga selain perak senilai US$ 112 juta
  • HS 38231920: minyak asam dari pengolahan kelapa sawit sebanyak US$ 95 juta

Mesra Setelah Sempat “Sewot”

Amerika Serikat di awal pemerintahan Presiden Donald Trump, sempat “sewot” pada Indonesia, karena menyebabkan defisit neraca dagang dengan Sang Adidaya.

“Make America Great Again” bagi Amerika adalah spirit, menunjukkan taring sang Adidaya. Tetapi bagi negara lain, dipersepsikan sebagai gendering perang dagang.

Kita terbang ke 2018, masa panas-panasnya gendering perang dagang ditabuh Donald Trump. Berdasarkan data US Census Bureau, 2018, defisit neraca perdagangan AS hingga Juni 2018 mencapai USD 46,3 miliar, rinciannya nilai ekspor USD 213,8 miliar sedangkan impor lebih besar impor di USD 260,2 miliar.

Berdasarkan besaran defisit neraca perdagangan AS itulah, The United States Trade Representative (USTR) mengidentifikasi 12 negara mitra dagang yang masuk dalam kategori Priority Watch List. Urutan pertama tentu saja Tiongkok, dan Indonesia rupanya masuk ke dalam daftar merah.

Berdasarkan data Census.gov defisit neraca dagang barang AS dengan seluruh negara mitranya pada Juli 2018 meningkat 6,11 persen menjadi USD 73,14 miliar sementara surplus neraca dagang jasa turun 0,57 persen menjadi USD 23,06 miliar.

Di saat yang bersamaan dari Januari-Juli 2018 AS mencatat defisit dagang dari Indonesia sebesar US$ 4,7 miliar.

Yang pasti, “Pengsuaha yang punya orientasi ekspor ke Amerika Serikat, akan sangat diuntungkan dengan kebijakan GSP. Semoga ini jadi sinyal baik juga untuk dalam negeri,” kata Sarman Simanjorang, pengusaha sekaligus Ketua DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta, kepada KompasTV.

(Dyah Megasari)

Penulis : Dyah-Megasari

Sumber : Kompas TV


TERBARU