> >

Kasus Korban Begal Jadi Tersangka Dihentikan, Polisi Diminta 'Akui kalau Ada Kesalahan'

Bbc indonesia | 18 April 2022, 23:30 WIB
AS, korban begal yang sempat dijadikan tersangka kasus dugaan pembunuhan dua orang yang membegalnya, bersalaman dengan Kapolda NTB Djoko Purwanto setelah dikeluarkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), Sabtu (16/4/2022). (Sumber: Dok. Humas Polda NTB)

Oleh sebab itu, menurut dia, pihak kepolisian harus melakukan peninjauan ulang profesionalitas aparat di lapangan dan seberapa jauh mereka berpegangan terhadap pedoman hukum.

Pada Sabtu (16/04), Kapolda NTB Irjen Djoko Poerwanto mengumumkan menghentikan kasus AS karena telah menjadi perhatian masyarakat luas dan berdasarkan hasil gelar perkara, tindakan AS merupakan perbuatan pembelaan terpaksa dan tidak ditemukan unsur perbuatan melawan hukum.

Publik butuh penjelasan

Sebelum Kapolda NTB mengumumkan penghentian kasus, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Agus Andrianto meminta kasus AS dihentikan karena menurut dia masyarakat berpotensi menjadi apatis dan takut melawan kejahatan jika kasus itu tetap diteruskan.

Namun, Anggota Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti menekankan melawan kejahatan yang dimaksud seharusnya dengan melakukan pencegahan, seperti melakukan pengamanan di lingkungan sekitar dengan siskamling, bukan menghadapi pelaku kejahatan sendirian.

"Kasus ini tidak boleh dimaknai masyarakat dibiarkan untuk melawan para pelaku kejahatan sendirian karena justru akan menimbulkan konflik horizontal, bisa jadi gesekan. Oleh karena itu, aparat kepolisian mestinya harus sigap."

"Dengan kasus ini lebih meningkatkan kecepatannya, fokusnya, untuk menciptakan lingkungan di sekitar kantor kepolisian itu menjadi lingkungan yang aman, Harkamtibnas-nya (Pemeliharaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) terjaga," ujar Poengky.

Erasmus juga menyarankan pihak kepolisian menjelaskan alasan penghentian kasus ini secara lebih jelas, jika tidak, masyarakat akan kebingungan kapan membela diri bisa dibenarkan dan kapan membela diri justru berpotensi terjebak hukuman.

Pasal 49 KUHP, yang digunakan polisi dalam kasus AS, membagi pembelaan diri menjadi dua, yaitu Pembelaan Diri (Noodweer) dan Pembelaan Diri Luar Biasa (Noodweer Excess). Pasal 49 ayat 1 KUHP berbunyi: "Tidak dipidana, barangsiapa melakukan tindakan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat dan yang melawan hukum pada saat itu."

Sementara Pasal 49 ayat (2) KUHP berbunyi: "Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana."

Namun, tidak semua pembelaan diri bisa dibenarkan dengan pasal-pasal itu. Advokat Hak Asasi Manusia, yang pernah menjabat sebagai Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati, menjelaskan daya paksa pembelaan diri harus seimbang dengan serangan.

"Dari kronologi kita bisa cari petunjuk bahwa sebetulnya jumlah antara korban dan pelaku tidak setara, lebih banyak pelaku. Itu akan membuat dia pembelaan darurat, tak ada jalan lain," kata Asfi.

Pembelaan terpaksa juga bisa dilakukan jika tidak ada cara lain lagi untuk melindungi diri.

Aparat harus punya pedoman

Adrianus Meliala memprediksi kasus seperti yang dialami AS masih akan terjadi di masa depan karena "orang semakin berani dan mampu melawan" dan pelaku kejahatan yang kurang melakukan perencanaan.

Sebelum kasus AS pun, ada kasus serupa di Bekasi pada 2018 lalu. Seorang pemuda berusia 19 tahun terlibat perkelahian dengan dua begal dan pada akhirnya begal terluka parah, lalu meninggal. Pemuda itu sempat ditetapkan menjadi tersangka, kemudian polisi mengklarifikasi statusnya menjadi saksi.

Fakta itu membuat Adrianus menilai aparat penegak hukum memerlukan solusi bersama untuk menangani kasus serupa, tanpa mengulangi kesalahan yang sudah terjadi sebelumnya.

"Karena dalam hal ini polisi tidak sendiri, polisi harus melapor kepada jaksa, jaksa melapor kepada hakim, dan hakim kemudian menyidangkan, maka seyogyanya tiga lembaga ini membuat satu kajian, keputusan bersama. Jangan orang dicari penetapan hakimnya, tapi ditersangkakan dulu. Itu yang publik enggak bisa terima."

"Mesti ada jalan keluar untuk kemudian penetapan hakim dapat diambil, tanpa pelaku dinyatakan sebagai tersangka," kata Adrianus.

Artikel ini merupakan hasil liputan BBC Indonesia yang ditayangkan juga di Kompas.TV

Penulis : Edy-A.-Putra

Sumber : BBC


TERBARU