> >

Perempuan Penjaga Hutan Adat di Yogyakarta, Lestarikan Hutan demi Mata Air, Bukan Air Mata

Bbc indonesia | 13 April 2022, 15:01 WIB
Sri Hartini, sang penjaga hutan adat Wonosadi di Yogyakarta. (Sumber: Furqon/BBC Indonesia)

Di era yang serba modern, Sri Hartini masih teguh memegang adat dan budaya. Meski nirupah, dia tak henti melestarikan Hutan Adat Wonosadi. Semua dilakukan demi kelestarian alam dan menjaga mata air "...dan bukan air mata yang mengalir," seperti pesan mendiang ayahnya.

Cuaca di sekitar Hutan Adat Wonosadi cerah di pertengahan Maret itu. Burung-burung berkicau dari balik rimbunnya pepohonan. Penduduk sekitar hutan yang mayoritas petani, sudah turun ke sawah. Mereka berjajar rapi, membungkuk dan berjalan mundur untuk menanam padi. Menandai, musim tanam padi sawah sudah mulai.

Tak jauh dari mereka, seorang perempuan paruh baya, duduk di teras rumah sembari mengenakan sepatu. Sri Hartini, namanya. Setelah sepatu terpasang, dia berdiri sambil memandangi birunya langit dan bergegas berangkat ke Hutan Adat Wonosadi yang jaraknya sekitar 300 meter dari rumahnya.

"Semoga tidak hujan. Kalau siang terkadang tiba-tiba mendung dan langsung hujan," ujarnya kepada wartawan Furqon Ulya Himawan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (14/03).

Baca juga:

Sri, panggilan karibnya, sebenarnya tak muda lagi. Usianya sudah 53 tahun. Tapi dia tetap bersemangat masuk ke Hutan Adat Wonosadi untuk mengecek tanaman; membersihkan saluran air yang tersumbat daun; dan memastikan semuanya tetap terjaga kelestariannya.

Ini sudah menjadi aktivitas Sri saban hari dalam 10 tahun terakhir. Masuk-keluar hutan, menjalankan pesan almarhum bapaknya, Sudiyo, untuk menjaga kelestarian hutan dan memastikan sumber mata air tetap mengalir.

"Bapak menitipkan kata-kata yang menggugah hati saya. Jangan meninggalkan air mata kepada anak cucu, tapi tinggalkanlah mata air untuk anak cucu kita," ujar Sri, mengenang wasiat bapaknya yang meninggal pada 2011.

Semasa hidupnya, Sudiyo adalah perintis pelestarian Hutan Adat Wonosadi yang nyaris gundul karena pembalakan liar pada 1965-1966. Kala itu, masyarakat yang mayoritas petani pun sering kekurangan air dan gagal panen.

Akhirnya bersama masyarakat lainnya, mereka bersepakat memulihkan hutan, dan membuat kelompok jagawana bernama Ngudi Lestari. Sudiyo menjadi ketuanya.

"Bapak saya yang merintis bagaimana menghijaukan Wonosadi kembali," kenang Sri.

Setiap Sudiyo ke hutan, Sri kecil selalu ikut. Dari situlah Sri belajar mengenal dan melestarikan alam, juga mempelajari seluk-beluk ekosistem Hutan Adat Wonosadi.

"Saya jadi tahu apa saja yang kelompok jagawana lakukan," ujarnya.

Usaha Sudiyo dan kelompok jagawananya sukses, Hutan Adat Wonosadi kembali hijau dan sumber airnya terus mengalir.

Sri kecil yang dulu sering ikut ke hutan, sekarang menjadi penerus ketua jagawana, menggantikan bapaknya yang telah meninggal dunia.

Mendapat penyangsian

Tak sampai lima menit berjalan kaki, Sri sampai di pintu masuk Hutan Adat Wonosadi. Ia mengeluarkan arit yang dibawanya dari rumah lalu mulai membersihkan sampah.

Sri sejenak memperhatikan sekitarnya, lalu masuk ke dalam rimbunnya pohon, melakukan apa yang dulu setiap hari dilakukan mendiang bapaknya.

"Dulu banyak yang menyangsikan saya sebagai ketua jagawana karena saya perempuan," kenangnya.

Mulanya Sri menolak menjadi ketua jagawana Hutan Adat Wonosadi. Tanggung jawabnya tidak ringan, dan harus memimpin 25 orang jagawana lainnya yang mayoritas laki-laki. Tapi setiap orang yang terpilih merasa tidak sanggup, sampai hampir setahun tidak ada yang mau menjadi ketua jagawana.

"Pada tidak mau. Setiap orang yang ditunjuk, mengaku belum sanggup dan tidak mampu," ujar Sri.

Wasiat bapaknya untuk terus menjaga hutan kembali terngiang. Pesan itulah yang menggugah Sri dan memotivasinya untuk mau menjadi ketua jagawana.

"Mau tidak mau, saya sanggup. Dengan niat bismillah, insya Allah, Tuhan meridai niat baik kita yang ingin melestarikan alam," ujarnya.

Sudiyo, sebut Sri, memang tidak pernah memintanya menjadi jagawana. Tapi ketika sakit dan dirawat di ICU, Sudiyo memegang tangan Sri, meminta agar Sri menjaga kesenian dan kelestarian Hutan Adat Wonosadi.

Meski sempat mendapat penyangsian, Sri tetap bertekad melanjutkan rintisan bapaknya. Berbekal niat baik dan pengalaman selama mengikuti aktivitas bapaknya di hutan, Sri membuktikan dia bisa menjaga kelestarian hutan sampai sekarang.

"Yang penting bagaimana hutan lestari, bisa menghasilkan mata air untuk kehidupan sehari-hari; bermanfaat untuk kesejukan udara, pertanian, dan sebagainya," ujar Sri.

Baca juga:

'Hutan adat satu-satunya'

Hutan Adat Wonosadi terletak di Kelurahan Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Luasnya sekitar 25 hektar. Di bagian puncak terdapat lembah yang diberi nama Lembah Ngenuman.

Menurut Sri Hartini, lima hektar dari pintu masuk sampai penghabisan tangga menjadi kawasan Taman Keanekaragaman Hayati (Kehati). Di kawasan ini, jagawana menanam buah-buahan yang bisa dimakan hewan-hewan di Hutan Adat Wonosadi, seperti monyet ekor panjang.

Sedangkan yang 20 hektar sisanya dibiarkan menjadi hutan belantara. Sehingga ketika masuk ke dalam menuju Lembah Ngenuman, terasa seperti melewati lorong.

Di situ terdapat pohon khas Hutan Adat Wonosadi yang umurnya sudah ratusan tahun: asam jawa (Tamarindus indica). Besar pohon itu setara dengan 7 orang bergandengan.

Selain pohon khas yang berusia ratusan tahun, Hutan Adat Wonosadi juga menyimpan tumbuhan yang berkhasiat untuk obat. Seperti tanaman sambiloto (Andrographis paniculata Nees) dan tanaman obat langka buah buni/wuni (Antidesma bunins) yang masyarakat sekitar menyebutnya dengan daun mojar.

Secara administratif, sebelah utara Hutan Adat Wonosadi berbatasan dengan Dusun Gunung Gambar, Kelurahan Kampung, Kecamatan Ngawen. Sebelah timur, berbatasan dengan Dusun Suru, Kelurahan Kampung, Kecamatan Ngawen. Dan sebelah barat berbatasan dengan Dusun Natah, Kelurahan Papringan, Kecamatan Nglipar.

"Itu satu-satunya hutan adat di DIY dan terletak di Gunungkidul," kata Raditia Nugraha dari bagian Rehabilitasi Hutan dan Lahan (DLHK) Yogyakarta.

Di sini, masyarakat masih memegang teguh adat dan budayanya.

Radia mengaku pernah melakukan penelitian di sana dan mendapati bahwa masyarakatnya sangat percaya pada hukum adat yang tidak tertulis. Misalnya, masyarakat tidak berani mengambil sesuatu dari hutan karena bisa menimbulkan malapetaka.

Melestarikan alam dan budayanya

Setiap tahun, warga Desa Beji menggelar upacara adat Sadranan. Pelaksanaannya setiap habis panen padi sawah, atau padi yang ditanam setelah musim hujan seperti saat ini. Sadranan merupakan acara adat sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang berlimpah, dan kelestarian alam.

Masyarakat membawa hasil panen dan aneka makanan ke Lembah Ngenuman. Setelah berdoa, makanan yang mereka bawa disantap bersama, sebagai bentuk kebersamaan untuk menyambung tali persaudaraan.

"Kami bersyukur kepada Yang Kuasa karena bisa panen dan berharap besok bisa panen lagi dengan hasil yang melimpah," ujar Sri.

Setiap acara adat yang diselenggarakan, seperti Sedekah Bumi, Bersih Dusun dan Sadranan, masyarakat juga memainkan alat musik rinding gumbeng. Ini adalah musik khas Gunungkidul yang sampai sekrang masih dilestarikan di Dusun Duren, Desa Beji, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul.

"Pada jaman dahulu untuk mengiringi upacara adat," kata Sri yang juga menjadi ketua Kelompok Seni Rinding Gumbeng, Ngluri Seni.

Alat musik ini terbuat dari kulit bambu. Lebarnya seukuran dua jari dan panjangnya sekitar 15-20cm. Ada benangnya di bagian ujung. Jika ditarik-tarik maka akan mengeluarkan suara khas: beung… beung…. beung….

Menurut Sri, perlu bakat tersendiri untuk memainkan alat musik rinding gumbeng. Tapi siapa saja bisa mempelajarinya asal tekun. Dan biasanya, yang memainkan alat musik rinding gumbeng adalah lelaki, tapi Sri pun bisa memainkannya.

Terlaksananya upacara adat Sadranan dan lestarinya alat musik rinding rumbeng, tak lain karena masyarakat Beji masih percaya pada hukum adat dan memegang teguh warisan leluhur.

Masyarakat sekitar hutan juga percaya dengan cerita tutur dari nenek moyang mereka yang tinggal di sekitar Hutan Adat Wonosadi.

Menurut Sri, Hutan Adat Wonosadi adalah petilasan dari keturunan kerajaan Majapahit, Raja Brawijaya V. Saat Majapahit kalah perang melawan Demak, istri selir Raja Brawajiya V, Rara Resmi melarikan diri ke wilayah Hutan Wonosadi, bersama kedua anaknya: Onggoloco dan Gadhingmas.

Penulis : Vyara-Lestari

Sumber : BBC


TERBARU