> >

Gempa Banten Terjadi Lagi, Sistem Mitigasi Belum Mampu Imbangi Ancaman Gempa Megathrust

Bbc indonesia | 17 Januari 2022, 21:12 WIB
BBC
Rumah warga di Desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, Banten rusak setelah diguncang gempa berkekuatan 6,6 pada Jumat (14/1).

Sistem mitigasi bencana di wilayah Pandeglang, Banten - yang diguncang gempa berkekuatan 6,6 SR pada Jumat (14/1) — belum berjalan optimal dan tidak didukung oleh infrastruktur penunjang yang memadai, menurut kesaksian sejumlah warga.

Pada Senin (17/1), Banten pun kembali diguncang gempa. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan, gempa yang baru saja terjadi berkekuatan magnitudo 5,4 dengan berpusat di 84 kilometer barat daya Bayah, Banten, dengan kedalaman 10 kilometer dan tidak berpotensi tsunami.

Menurut BMKG, gempa Senin pagi tersebut juga dirasakan di beberapa wilayah di Jawa Barat, seperti di Kabupaten Sukabumi, Pelabuhanratu hingga Bogor.

Sebelumnya, Irfan Afendi, 35, mengatakan warga di Desa Cigorondong, Kecamatan Sumur, Pandeglang, belum menetapkan titik evakuasi yang disepakati hingga saat ini. Padahal wilayah tersebut telah berulang kali diguncang gempa.

Sebagian warga, termasuk Irfan, juga belum pernah mengikuti penyuluhan apa pun terkait mitigasi bencana. Tak hanya itu, Irfan juga mengaku tidak mengetahui risiko gempa sebesar apa yang mengancam wilayah itu dan selama ini mengevakuasi dirinya "berdasarkan insting".

Baca juga:

Sebelumnya, Badan Meterologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa gempa megathrust berkekuatan hingga 8,7 pada Skala Richter berpotensi terjadi di wilayah Selat Sunda yang dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak luar biasa jika tidak dimitigasi dengan baik.

"Saya belum pernah dapat pelatihan itu, saya juga enggak tahu soal potensi (gempa) megathrust (di Selat Sunda). Selama ini saya evakuasi pakai insting saja," tutur Irfan kepada BBC News Indonesia, Minggu (16/1).

Di Desa Ujung Jaya, Kecamatan Sumur, jalur evakuasi yang gelap membuat warga yang panik bertabrakan satu sama lain ketika mencoba menyelamatkan diri.

Menurut Anis Sri Rahayu, 28, kepanikan itu muncul akibat akibat intensitas gempa saat itu terasa lebih kuat dibanding yang pernah dia rasakan sebelumnya. Rumahnya pun rusak akibat guncangan tersebut.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat hampir 1.700 rumah di Pandeglang rusak akibat gempa. Namun, tidak ada korban jiwa akibat guncangan tersebut.

Meski demikian, pakar kegempaan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Irwan Meilano, mengatakan dampak kerusakan itu menunjukkan bahwa konsep "desa tangguh bencana" yang dicanangkan Badan Nasional Penanggungalangan Bencana (BNPB) baru "sebatas jargon".

Sebab, gempa yang terjadi pada Jumat lalu tergolong berintensitas sedang dan seharusnya tidak menimbulkan kerusakan seperti yang terjadi. Menurut dia, hal ini menunjukkan bahwa sistem mitigasi belum mampu mengimbangi ancaman gempa megathrust yang mungkin muncul.

"Itu alarm yang sangat penting untuk kita pahami, bahwa dengan baru gempa yang tidak terlalu besar tapi kerusakannya signifikan, apalagi kalau gempa (megathrust) sesungguhnya yang datang," kata Irwan.

Selain itu, pemahaman masyarakat yang belum utuh terkait risiko dan bagaimana bertindak saat bencana terjadi, dikhawatirkan dapat berdampak sangat fatal apabila gempa yang diprediksi berkekuatan lebih besar itu benar-benar terjadi.

Sementara itu, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pandeglang mengklaim nihilnya korban jiwa menunjukkan bahwa masyarakat telah memahami mitigasi bencana.

Namun Pelaksana Tugas Kepala BPBD Pandeglang, Girgi Jantoro, mengakui penyebaran informasi terkait evakuasi bencana belum berjalan optimal karena sejumlah titik di area itu tidak terjangkau oleh jaringan komunikasi.

"Jadi memang Kabupaten Pandeglang masih blank spot. Tapi kami terus berupaya agar masyarakat dapat informasi yang akurat, kami sampaikan melalui para camat," kata dia.

Tak pernah ikuti sosialisasi bencana

BBC
Warga di Kecamatan Sumur, Pandeglang, Banten membersihkan rumah mereka dari puing-puing usai gempa.

Irfan Afendi, yang merupakan seorang pemandu wisata, hendak bertolak ke Taman Nasional Ujung Kulon ketika gempa berkekuatan 6,6 pada Skala Richter itu mengguncang Banten.

Irfan yang saat itu sedang berada pada lokasi yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari garis pantai, kemudian mengevakuasi diri ke rumah neneknya yang berada di area lebih tinggi.

"Memang dari BPBD setelah tsunami (2018) ada plang-plang jalur evakuasi ke dataran tinggi, tapi titik kumpulnya belum ditentukan, intinya ke dataran tinggi saja. Akhirnya kami sekeluarga ke rumah nenek yang memang lokasinya lebih tinggi," kata Irfan.

Selama hidupnya, Irfan telah berulang kali mengalami gempa bumi. Tetapi karena kesibukannya sebagai pemandu wisata, dia tidak pernah mengikuti penyuluhan apa pun terkait mitigasi bencana yang digelar di desanya.

Setelah gempa tersebut, Irfan pun tetap melanjutkan perjalanannya menuju Pulau Peucang, Taman Nasional Ujung Kulon, meski gempa susulan masih terus terjadi.

BMKG setidaknya mencatat telah terjadi 39 kali gempa susulan sejak gempa utama terjadi pada Jumat.

"Kalau (bencana) terjadi ya kita berserah kepada Allah saja," ujar Irfan.

Jalur evakuasi gelap, akses komunikasi terputus

Warga lainnya di Desa Ujung Jaya, Anis Sri Rahayu, 28, mengatakan guncangan gempa yang terasa kuat membuat warga panik dan mengungsi ke dataran yang lebih tinggi melalui jalur evakuasi yang dibuat oleh pemerintah. Hanya saja, tidak ada penerangan di jalur evakuasi tersebut sehingga mempersulit pergerakan warga.

"Penerangan masih kurang di (jalur evakuasi) daerah kami, apalagi kita kalau mau mengungsi berbondong-bondong sambil gelap-gelapan. Itu sulit, ada warga yang nabrak juga," ujar dia kepada wartawan Engkos Kosasih yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Selain itu, warga juga kesulitan mengakses informasi terkait situasi terkini setiap kali bencana terjadi. Sebab, jaringan komunikasi selalu terputus seiring padamnya listrik usai gempa mengguncang.

Hal serupa juga terjadi di Kampung Air Jeruk, Kecamatan Cimanggung, Pandeglang. Salah satu warga, Ahmad Kurtusi, 28, menuturkan jalur evakuasi yang tersedia masih jauh dari ideal di tengah kebutuhan evakuasi di daerah yang rawan tsunami seperti di kampungnya.

Jalur evakuasi itu hanya berupa jalur setapak tanpa penerangan yang biasa digunakan warga saat hendak pergi berkebun.

Selain itu, warga akan selalu berbondong-bondong mengevakuasi diri ketika gempa terjadi tanpa mengetahui apakah gempa tersebut berpotensi tsunami atau tidak.

"Jalur evakuasi harus diperbaiki. Peringatan dini kayak alarm gitu juga, kalau misalkan ada bencana gempa bumi, minimal kami tahu lah ini potensi tsunami, mana yang enggak," kata dia.

Kampung Air Jeruk, lanjut Ahmad, juga tidak memiliki sistem peringatan dini tsunami sehingga mereka bergantung pada sistem peringatan dini yang berada di kampung lain. Akses komunikasi yang terputus usai gempa pun membuat mereka kesulitan mengakses perkembangan informasi terbaru.

"Kemarin ketika ada gempa itu mati lampu, kita enggak tahu informasi apa pun. Ada salah satu warga yang memantau air sungai (yang dekat ke laut). Paling informasinya dari situ, jadi kalau air sungai itu naik itu berarti pasti tsunami jadi siap-siap saja," ujar Ahmad.

Hingga dua hari pasca-gempa, Ahmad mengatakan warga masih cenderung was-was terutama di tengah informasi terkait potensi gempa megathrust di Selat Sunda.

Meski informasi itu telah disampaikan dalam sosialisasi tangguh bencana di desanya, Ahmad mengaku tak yakin sistem mitigasi yang ada saat ini cukup untuk menghadapi hal itu.

"Tiap malam warga tidak bisa tidur nyenyak, apalagi dengar dari berita ada ancaman megathrust, warga di sini kurang tenang," kata dia.

Alarm atas potensi bencana yang lebih berbahaya

Kepala Badan Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, mengatakan gempa berkekuatan 6,6 SR yang mengguncang Banten pada Jumat lalu "bukan ancaman yang sesungguhnya".

Menurut dia, gempa tersebut berasal dari zona seismic gap di Selat Sunda, yakni wilayah yang aktivitas kegempaannya tidak setinggi area di sekelilingnya. Tetapi, kekosongan itulah yang ternyata menyimpan potensi gempa dengan magnitudo yang lebih besar.

"Zona itu ketika dihitung oleh para ahli bisa memproduksi, merilis gempa (berkekuatan) 8,7. Jadi gempa yang kemarin itu, yang bermagnitudo 6,6 itu belum ancaman yang sesungguhnya," kata Daryono kepada BBC News Indonesia.

Namun potensi gempa tersebut tidak bisa diketahui kapan akan terjadi. Oleh sebab itu, BMKG telah menyampaikan hasil kajian itu kepada pemerintah daerah untuk direspons dengan kebijakan mitigasi.

Hal senada juga disampaikan oleh Pakar kegempaan ITB, Irwan Meilano. Menurut Irwan, gempa di Pandeglang menjadi alarm yang menunjukkan bahwa sumber gempa yang dikhawatirkan oleh para ahli itu benar-benar aktif.

"Pesan yang perlu kita baca sama-sama, bahwa wilayah itu adalah wilayah yang aktif secara tektonik. Wilayah yang ingin bilang bahwa kami ini aktif dan berpotensi, dan buktinya gempa hari Jumat kemarin," ujar Irwan.

Selain itu, Irwan mengatakan intensitas gempa pada Jumat lalu sebetulnya tidak terlalu besar dan semestinya tidak menimbulkan kerusakan. Tetapi kenyataannya, kerusakan yang terjadi cukup besar. Hal itu, kata dia menunjukkan bahwa mitigasi bencana belum berjalan baik.

"Itu alarm yang sangat penting untuk kita pahami, bahwa dengan baru gempa yang tidak terlalu besar tapi kerusakannya signifikan apalagi kalau gempa sesungguhnya yang datang," kata dia.

Mengulang kesalahan yang sama

Irwan mengatakan situasi dan dampak kerusakan yang muncul akibat gempa di Banten menunjukkan bahwa masyarakat setempat belum sepenuhnya "tangguh bencana" dan belum mampu mengimbangi potensi bencana yang mungkin terjadi.

Sejak 2019 lalu, BNPB menggelar ekspedisi Desa Tangguh Bencana ke desa-desa yang rawan tsunami di sepanjang Pantai Selatan Jawa yang didiami lebih dari 600 ribu jiwa.

Tetapi program tangguh bencana itu kemudian tidak didukung oleh pembangunan infrastruktur tahan gempa, jalur evakuasi yang memadai, serta sistem peringatan dini yang layak. Akibatnya, masyarakat tetap dilanda kepanikan setiap kali bencana terjadi.

Baca juga:

Selain itu, sistem mitigasi yang buruk juga membuat mayoritas masyarakat tidak memahami risiko bencana yang mengintai mereka.

"Kita euforia dengan konsep tangguh bencana. Pokoknya ketika pernah dapat penyuluhan, kita anggap tangguh. Itu investasi yang panjang," kata Irwan.

"Untuk jadi insting itu kan lewat literasi dan pendidikan yang mendasar. Oke lah itu sebagai awal yang baik, tapi harus dilakukan dengan upaya yang konsisten," lanjut dia.

Hal itu, kata Irwan, membuat banyak bencana alam di Indonesia terjadi atas alasan yang sama, yakni buruknya sistem mitigasi.

Penulis : Edy-A.-Putra

Sumber : BBC


TERBARU