> >

Peran dan Tantangan Indonesia dalam Menjaga Perdamaian Dunia

Advertorial | 25 Juni 2021, 09:53 WIB
Keterlibatan perempuan dalam Pasukan Penjaga Perdamaian Indonesia. (Sumber: MONUSCO)

JAKARTA, KOMPAS.TV – Indonesia dan negara-negara Kepulauan Pasifik atau Pacific Island Countries (PICs) berkomitmen untuk menegakkan setiap upaya menyelesaikan konflik dan menjaga perdamaian dunia.

Melalui talk show bertajuk “A Contribution to Peace: A Pacific Perspective” yang diselenggarakan Jumat (18/6/2021), para panelis bertukar pandangan mengenai peningkatan kapasitas PICs dalam kontribusinya menjaga perdamaian dunia.

Menurut Staf Ahli Polhukam Kementerian Luar Negeri, Tri Tharyat, Indonesia telah membangun kemitraan dan kerja sama dengan negara-negara Pasifik sejak lama. Profil geografis sebagai negara pulau dan kepulauan di kawasan Pasifik, menjadikan Indonesia memiliki tantangan yang sama dengan negara-negara PICs.

Dalam konteks politik luar negeri, Indonesia bergabung dalam Misi Pemeliharaan Perdamaian (MPP) PBB sejalan dengan amanat konstitusi dan memegang prinsip bebas aktif.

Komitmen untuk berkontribusi menjaga perdamaian dan stabilitas dibuktikan Indonesia dengan pengerahan lebih dari 2.700 personel dan upaya penambahan perwira wanita dari waktu ke waktu. Melalui kontribusi yang cukup besar ini, Indonesia berada di peringkat kedelapan dari 123 negara yang berkontribusi dalam MPP PBB.

“Kami sekarang berada dalam daftar roster PBB. Artinya, setiap kali ada kebutuhan untuk mengerahkan kontingen ke misi tertentu, Indonesia mampu mempersiapkan pasukan,” imbuh Mantan Penjaga Perdamaian di MONUSCO dan saat ini bertugas di Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian (PMPP) TNI, Letkol Herly Sinaga.

Kendati demikian di lapangan, Letkol Herly Sinaga menjelaskan, mengemban misi memelihara perdamaian dunia memerlukan pengorbanan besar dan masih menemui banyak tantangan yang tidak hanya dirasakan Indonesia, tetapi juga sebagian besar negara kontributor personel penjaga perdamaian, termasuk yang tergabung Kepulauan Pasifik.

Baca Juga: Hari Ini, 19 Juni 6 Tahun Lalu, PBB Tetapkan Hari Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Konflik

Kehadiran perempuan dan tantangan misi perdamaian

Menurut Council on Foreign Relations, terlepas dari peran penting perempuan, keterwakilan perempuan dalam perjanjian damai yang dibuat dari tahun 1992 - 2019 hanya 6 persen sebagai mediator, 13 persen negosiator, serta 6 persen signatories.

Berdasarkan data 30 April 2021, total ada 4.168 personel militer dan 1.449 personel polisi perempuan di antara 78.988 pasukan perdamaian (7,11 persen). Hingga saat ini, PBB terus mengadvokasi penempatan perempuan oleh negara-negara anggota.

Dilansir dari laman resmi UN Peacekeeping, target untuk 2028 untuk perempuan yang bertugas di kontingen militer sebanyak 15 persen, dan 25 persen untuk pengamat militer dan staf perwira.

Sementara, target 2028 bagi perempuan yang bertugas di satuan tugas polisi adalah 20 persen, dan 30 persen untuk (Individual Police Officer/IPO) petugas polisi individual.

Menurut data PBB (April 2021), Indonesia telah menyumbang personel perdamaian perempuan sebanyak 183 orang atau 6,5 persen dari total 2.795 personel.

Indonesia menjadi salah satu penyumbang personel perdamaian wanita terbesar, dengan 183 personel bertugas di tujuh MPP PBB, yaitu Lebanon, Republik Demokratik Kongo, Republik Afrika Tengah, Sudan Selatan, Darfur, Mali, dan Sahara Barat.

Tak hanya Indonesia, Fiji juga telah memiliki Komisaris Polisi wanita pertama yang melayani misi PBB di Sudan Selatan.

Menurut Duta Besar Fiji untuk Indonesia, Amena Yauvoli, hal ini merupakan perwujudan komitmen negara-negara Kepulauan Pasifik dalam meningkatkan keterwakilan perempuan, memperluas peran perempuan, serta mengimplementasikan agenda Women, Peace and Security in peacekeeping.

Baca Juga: Amerika Serikat Segera Bagikan 80 Juta Dosis Vaksin Covid-19, 75 Persen Melalui Program COVAX PBB

Kendati demikian, dalam memenuhi mandat meningkatkan personel perempuan, Letkol Herly Sinaga menjelaskan beberapa tantangan yang dihadapi berbagai negara PICs, khususnya Indonesia.

“Pertama masalah sosial-budaya, kedua masalah pelibatan wanita dalam combat unit, ketiga adalah kesenjangan kapasitas dengan personel pria” ujar Letkol Herly.

“Ini merupakan norma berlandaskan agama dan budaya yang harus kita hormati,” katanya lagi.

“Terakhir, perempuan juga masih rentan menerima kekerasan. Masyarakat setempat tidak takut melihat seragam yang saya kenakan. Mereka masih melihat saya sebagai perempuan lemah,” lanjutnya.

Terkait hal tersebut, Pelatih CSO Direktorat Operasi Dukungan Perdamaian, Angkatan Militer Republik Fiji, Mayor Jone Kuruduadua Verebasaga mengatakan bahwa negaranya juga menemui masalah yang sama.

“Terdapat tantangan fisik terkait kondisi alam yang berbeda, juga tantangan sosial, termasuk memahami budaya lokal, kepercayaan, dan tradisi; pelecehan hak asasi manusia, pelecehan seksual, pelindung warga sipil, ini adalah tantangan yang bisa mempengaruhi psikologis,” ungkapnya.

Respon Indonesia

Letkol Herly berpendapat perlunya perubahan pola pikir untuk mengatasi berbagai kendala sosial-budaya agar sesuai dengan kebutuhan kontemporer. Sementara, kapasitas kemampuan dapat ditingkatkan selama dan setelah pelatihan, atau dengan melakukan seleksi awal calon perwira terbaik yang akan dilatih di PMPP TNI.

“Untuk perekrutan personel perempuan, kita hanya memberi ilmu, terus menyemangati, dan meningkatkan minat. Peningkatannya mungkin tidak signifikan seperti yang kita harapkan, tetapi setidaknya ada penambahan yang lebih baik dari sebelumnya,” tutur Letkol Herly.

Sementara itu, Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Pertahanan Indonesia, Anak Agung Banyu Perwita mengatakan, diperlukan respon domestik yang sangat kuat.

Setiap negara anggota PKO (UN under secretary-general for peacekeeping operations) harus memiliki kebijakan pertahanan yang sangat jelas dan koheren.

Tidak hanya fokus pada penambahan jumlah personel, Indonesia juga perlu mengusulkan peningkatan industri pertahanan.

“Indonesia telah mengirimkan kendaraan angkut tempur, Anoa dan Komodo. Ini cukup penting bagi Indonesia untuk meningkatkan teknologi ke tingkat internasional untuk berkontribusi melalui industri pertahanan,” kata Prof. Banyu.

Menurutnya, Indonesia juga dapat mengoptimalkan fungsi Indonesia Peace and Security Center (IPSC) dan hubungan kerja sama antara Indonesia dengan Fiji. Prof. Banyu menyebut langkah ini dengan “diplomasi aktif dan efektif”.

Baca Juga: Indonesia Kembali Calonkan Diri sebagai Anggota Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana PBB

“Kita dapat meningkatkan kerjasama bilateral dalam konteks PKO. Kami memiliki IPSC di Sentul, Indonesia dan Fiji dapat melakukan pelatihan bersama sebagai persiapan sebelum mengirim personel ke misi tertentu,” sambungnya.

Dengan rujukan-rujukan tersebut, Indonesia dan negara-negara yang tergabung dalam PICs dapat memainkan peran yang signifikan dalam menjaga dan meningkatkan kapasitas kontribusinya untuk perdamaian dunia.

Langkah Pemri di Dalam Negeri

Pada tataran domestik, Pemerintah Indonesia menyadari bahwa konflik dalam negeri dapat menjadi polemik yang turut berpengaruh dalam interaksi internasional di kawasan.

Untuk itu, berbagai langkah penanganan telah dilaksanakan, termasuk dengan peningkatan pembangunan dan pemeliharaan kesejahteraan setempat. Pemeliharaan keamanan dan ketertiban juga diupayakan melalui penegakan hukum yang tegas dan terukur.

Demikian penjelasan Deputi V bidang Politik, Hukum, Keamanan, Pertahanan dan Hak Asasi Manusia, Jaleswari Pramodhawardani, serta Deputi Kerja Sama Internasional BNPT RI, Andhika Chrisnayudhanto.

Mendukung upaya tersebut, Founder dan Executive Director dari Verve Research, Natalie Sambhi juga menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara fokus internal dan eksternal militer untuk meningkatkan kapasitas dan peran mereka.

“Jika mengambil contoh di Indonesia, kita bisa mencoba mengubah budaya militer sesuai dengan kepentingan domestik, seperti memperluas pertahanan laut, meningkatkan kapasitas TNI, melanjutkan pengiriman angkatan darat ke wilayah darat operasional penjaga perdamaian,” tegas Natalie.

Lanjutnya, “Bagus bagi Indonesia untuk lebih aware dengan wilayah maritimnya dan untuk meningkatkan kekuatan maritimnya.”

Pekerjaan rumah untuk menjaga stabilitas dalam negeri menjadi krusial untuk mencerminkan keberhasilan kontribusi Indonesia terhadap perdamaian, baik di kawasan maupun global.

Penulis : Elva-Rini

Sumber : Kompas TV


TERBARU