Kompas TV nasional rumah pemilu

Jimly: Sulit Buktikan Pemilu 2024 Curang Terstruktur, Sistematis dan Masif, Pilpres 2019 Lebih Parah

Kompas.tv - 4 Maret 2024, 10:30 WIB
jimly-sulit-buktikan-pemilu-2024-curang-terstruktur-sistematis-dan-masif-pilpres-2019-lebih-parah
mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie saat ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian usai bertemu dengan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Senin (26/2/2024). (Sumber: KOMPAS TV/ Bongga Wangga)
Penulis : Tito Dirhantoro | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie mengatakan terlalu sulit untuk membuktikan kecurangan pemilihan presiden atau Pilpres 2024 secara terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

Menurut Jimly Asshiddiqie, Pilpres 2024 berbeda dengan pemilihan anggota legislatif (Pileg) atau pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang pernah diulang karena kecurangan TSM.

“Untuk tingkat nasional, memang terlalu sulit membuktikannya. Kita kan enggak bisa mengeneralisasi,” kata Jimly dikutip dari program GASPOL! yang tayang di Youtube Kompas.com.

Baca Juga: Jimly Asshiddiqie Ceritakan Sikap Megawati saat kalah Pilpres: Tidak Mengajukan Perkara

Jimly menilai kecurangan Pilpres 2019 lebih parah dibandingkan dengan Pilpres 2024. Sebab, kata dia, Presiden Joko Widodo atau Jokowi, yang saat itu menjabat presiden, mencalonkan lagi sebagai calon presiden.

“Sebenarnya 2019 itu lebih parah. Karena presidennya itu kampanye langsung, incumbent dan itu pemilu serentak juga,” ujar Jimly.

“Pilpres 2019 lebih ribet, dia (Jokowi) presiden. Dia berkampanye. Ke mana kira-kira sikap kepala desa?”.

Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Hukum dan Ketatanegaraan itu juga meminta agar pihak-pihak yang menyuarakan hak angket tidak dihalang-halangi.

Baca Juga: Saran Jimly ke Airlangga: Terima Usul Hak Angket biar Masuk Sejarah di Era Jokowi

Adapun wacana menggulirkan hak angket di DPR RI diketahui mencuat. Hal itu dilakukan untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pilpres 2024 mencuat. Menurut Jimly, hak angket bisa digunakan untuk menyalurkan kekecewaan publik.

“Proses hukum ini jalanin saja. Tetapi proses politik ini enggak usah dihalangi juga, biar saja. Karena ini kan menyalurkan kekecewaan melalui ruang sidang forum politik di DPR, forum hukum di Bawaslu dan MK,” ujar Jimly.

Pakar hukum tata negara itu menyebutkan bahwa hak angket merupakan wadah untuk memindahkan kemarahan publik ke ruang sidang.


 

“Memindahkan kemarahan dari jalanan, bakar-bakar ban, ke ruang sidang. Ini harus disadari. Kita salurkan kekecewaan para pengusung ini ke ruang sidang,” kata Jimly.

Baca Juga: Kronologi Polres Jayawijaya Rusak Diserang Anggota TNI, Berawal Ribut saat Main Futsal

 



Sumber : Kompas.com


BERITA LAINNYA



Close Ads x