Kompas TV nasional peristiwa

Perjanjian Renville 17 Januari 1948: Begini Latar Belakang dan Isinya

Kompas.tv - 17 Januari 2024, 04:00 WIB
perjanjian-renville-17-januari-1948-begini-latar-belakang-dan-isinya
Delegasi Indonesia dalam Perjanjian Renville. Dari kiri ke kanan: Johannes Latuharhary, Ali Sastroamidjojo, Agus Salim, Johannes Leimena, Setiadjit Soegondo, Amir Syarifuddin (Sumber: Wikimedia Commons via Kompas.com)
Penulis : Almarani Anantar | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS TV - Pada tanggal 17 Januari 1948, atau 76 tahun yang lalu pada hari ini, sebuah dokumen penting dalam sejarah pasca kemerdekaan Republik Indonesia, yakni Perjanjian Renville, secara resmi disepakati dan ditandatangani.

Mengutip dari Kompas.com, perjanjian ini dinamakan Perjanjian Renville karena perundingannya berlangsung di atas geladak Kapal USS Renville, sebuah kapal Angkatan Laut Amerika Serikat yang saat itu sedang bersandar di Tanjung Priok, Jakarta. Pemilihan tempat tersebut dilakukan karena dianggap sebagai lokasi yang netral.

Lantas apa sebenarnya latar belakang dan isi dari Perjanjian Renville?

Latar Belakang Perjanjian Renville

Dilansir dari Encyclopaedia Britannica, Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Republik Indonesia dengan Belanda akibat sengketa kedaulatan Indonesia.

Meskipun sebelumnya sudah ada Perjanjian Linggarjati yang menetapkan wilayah de facto Republik Indonesia Serikat (RIS), tetapi konflik antara keduanya tidak terselesaikan. Indonesia menuduh Belanda mengingkari perjanjian, begitu juga sebaliknya.

Baca Juga: 14 Januari Jadi Hari Logika Sedunia, Begini Sejarah, Tujuan, dan Cara Memperingatinya

Belanda melanjutkan operasi militernya dengan bergerak ke wilayah Jawa dan Madura yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Serangan Belanda ini dikenal dengan Agresi Militer Belanda I.

Indonesia berupaya mengatasi konflik tersebut dengan meminta bantuan internasional, termasuk melibatkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai mediator dalam penyelesaian sengketa tersebut.

Dalam kesempatan tersebut, perwakilan Indonesia dan Belanda sebagai dua pihak yang terlibat langsung, sementara Good Offices Committee (GOC) atau Komisi Tiga Negara (KTN) turut hadir sebagai mediator atau penengah dalam proses tersebut.

Komisi Tiga Negara (KTN) terdiri dari Amerika Serikat, Belgia, dan Australia. Indonesia menunjuk Australia, Belanda menunjuk Belgia, sementara itu Amerika Serikat ditunjuk oleh berdasarkan keinginan Indonesia dan Belanda.


 

Amerika Serikat menyediakan pertemuan antara Indonesia dan Belanda di kapal perang Renville. Dalam pertemuan tersebut, Perdana Menteri Amir Sjarifuddin mewakili Indonesia, sementara Gubernur Jenderal Van Mook mewakili Belanda.

Baca Juga: 10 Januari Sebagai Peringatan Hari Gerakan Satu Juta Pohon, Ini Sejarah dan Manfaatnya

Hasil Perundingan Renville

Berikut hasil yang didapat dari perundingan di atas Kapal Renville, berdasarkan Arsip Nasional Republik Indonesia:

  1. Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan segera;
  2. Republik Indonesia merupakan negara bagian dalam RIS;
  3. Belanda tetap menguasai seliruh Indonesia sampai RIS terbentuk;
  4. Wilayah Indonesia yang diakui Belanda hanya Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera;
  5. Wilayah kekuasaan Indonesalia dan Belanda dibatasi garis demarkasi yang disebut Van Mook. TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantongnya di wilayah pendudukan di Jawa Barat dan Jawa Timur;
  6. Uni Indonesia - Belanda dikepalai oleh Raja Belanda akan dibentuk;
  7. Referendum untuk menentukan nasib wilayah di dalam RIS akan diadakan;
  8. Pemilihan umum untuk membentuk Dewan Konstituante RIS akan diadakan.

Baca Juga: 19 September, Memperingati Peristiwa Perobekan Bendera Belanda di Hotel Yamato Surabaya

Kemudian pada 17 Januari 1948, Perdana Menteri Amir Sjarifuddin menandatangani naskah perundingan tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Perjanjian Renville.

Tidak hanya Perjanjian Linggarjati yang dikhianati, tetapi Belanda juga mengkhianati Perjanjian Renville dengan melakukan serangan ke Ibu Kota Indonesia yang saat itu terletak di Yogyakarta. Serangan ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II.



Sumber : Kompas.com


BERITA LAINNYA



Close Ads x