Kompas TV nasional humaniora

Angka Kesakitan dan Kematian Remaja Meningkat 200 Persen, Dokter Jiwa Ungkap Penyebabnya

Kompas.tv - 13 Oktober 2023, 12:30 WIB
angka-kesakitan-dan-kematian-remaja-meningkat-200-persen-dokter-jiwa-ungkap-penyebabnya
Dua remaja menggunakan payung saat hujan turun di kawasan Senayan, Jakarta, 10 Mei 2023. Dokter spesialis kesehatan jiwa dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Khamelia Malik menyebut terdapat paradoks kesehatan mental remaja masa kini. Ia menyebut remaja cenderung terlihat sehat secara fisik, tetapi angka kesakitan justru meningkat. (Sumber: Andika Wahyu/Antara)
Penulis : Ikhsan Abdul Hakim | Editor : Desy Afrianti

JAKARTA, KOMPAS.TV - Dokter spesialis kesehatan jiwa dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Khamelia Malik menyebut terdapat paradoks kesehatan mental remaja masa kini. Ia menyebut remaja cenderung terlihat sehat secara fisik, tetapi angka kesakitan justru meningkat.

"Angka kesakitan dan kematian di masa remaja meningkat hingga 200 persen pada akhir ini," kata dr. Khamelia Malik dalam keterangan tertulis yang dikutip Antara, Jumat (13/10/2023).

Khamelia menyampaikan bahwa hal tersebut berbanding terbalik dengan masa remaja yang secara fisik merupakan periode paling sehat dari segi kekuatan, kecepatan, dan kemampuan penalaran. Ia juga menyebut remaja cenderung lebih tahan terhadap kondisi dingin, panas, kelaparan, dehidrasi, dan berbagai jenis cedera.

Baca Juga: Jangan Anggap Remeh, Ini 6 Dampak Negatif Bullying untuk Kesehatan Mental Remaja

Khamelia menuturkan, angka kesakitan dan kematian yang tinggi pada remaja salah satunya disebabkan ketidakmampuan dalam mengendalikan perilaku dan emosi yang mengakibatkan kesakitan dan kematian.

Dokter jiwa itu menilai remaja saat ini sulit dipahami. Hal tersebut disebabkan adanya area otak yang mengalami maturasi lebih cepat dibandingkan dengan area lainnya.

"Otak remaja berkembang dalam keadaan konstan, yang berarti remaja lebih cenderung melakukan perilaku berisiko dan implusif, kurang mempertimbangkan konsekuensi dibanding orang dewasa," kata Khamelia.

Khamelia pun mengimbau para orang tua untuk membimbing dan menjadi panutan remaja dalam membina kecerdasan emosi dan mengambil pilihan lebih sehat. Menurutnya, orang tua atau guru perlu membantu remaja mengevaluasi risiko dan mengantisipasi konsekuensi dari setiap pilihan yang diambil.

"Selain itu juga mengembangkan strategi untuk mengalihkan perhatian dan energi ke aktivitas yang lebih sehat agar kesehatan mental juga terjaga," katanya.

Sementara itu, Kepala Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wahyu Pudji Nugraheni menyebut anak-anak dan remaja kini rentan mengalami gangguan mental seperti kecemasan dan depresi.

"Perubahan fisik dan hormon, tekanan akademis, serta masalah sosial dan identitas itu, bisa mempengaruhi terhadap gangguan kesehatan mental mereka," kata Pudji, Selasa (10/10) lalu.

Kata Pudji, secara keseluruhan kondisi mental seseorang dipengaruhi genetik, lingkungan, sosial, ekonomi, serta kondisi biologis. 

Selain kelompok remaja, Pudji menyebut terdapat tujuh kelompok lain yang rentan terkena gangguan mental, di antaranya adalah individu dengan riwayat keluarga yang secara genetik punya gangguan mental, individu dengan penyakit kronis, serta seseorang dengan riwayat trauma dan pelecehan.

Baca Juga: 15 Persen Angkatan Kerja Dunia Alami Gangguan Mental: Naik selama Pandemi, Turunkan Produktivitas



Sumber : Antara


BERITA LAINNYA



Close Ads x