Kompas TV nasional politik

Wacana Penundaan Pemilu Datang dari Elite Politik, Pakar Hukum Tata Negara: Pengkhianatan Konstitusi

Kompas.tv - 6 Maret 2022, 22:06 WIB
wacana-penundaan-pemilu-datang-dari-elite-politik-pakar-hukum-tata-negara-pengkhianatan-konstitusi
Ilustrasi pemilu. Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti berpendapat wacana penundaan pemilu yang digulirkan kalangan elite politik merupakan bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi.(Sumber: KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD )
Penulis : Danang Suryo | Editor : Edy A. Putra

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti berpendapat wacana penundaan Pemilu 2024 yang digulirkan elite politik merupakan bentuk pengkhianatan terhadap konstitusi.

"Ini adalah pengkhianatan konstitusi. Kita sadari bahwa konstitusi itu bukan sekadar teks, dan politik bukan sekedar matematik," tutur Bivitri, Minggu (6/3/2022).

Jika ingin sekadar mengubah konstitusi dan melanggengkan wacana penundaan Pemilu 2024, menurutnya, cukup mudah.

"Kalau caranya harus dengan merubah konstitusi ya gampang. Pasal 37 UUD 1945 hanya mengatur sepertiga saja dari jumlah anggota MPR. Itu sudah bisa agendakan perubahan konstitusi," lanjutnya.

"Kuorumnya dua pertiga dari anggota MPR dan penyetujuan amandemen 50 persen plus 1. Itu lebih mudah daripada proses legislasi," tambahnya.

Bivitri menekankan, orang-orang yang mewacanakan penundaan Pemilu seharusnya malu karena telah mengkhianati gagasan konstitusionalisme.

Baca Juga: Perludem: Wacana Penundaan Pemilu Adalah Masalah Fundamental dan Melanggar Konstitusi

"Konstitusi adalah gagasan pembatasan kekuasan. Orang-orang yang ngomong itu seharusnya malu karena mereka sebenarnya sudah mengkhianati gagasan konstitusionalisme. Dampaknya apa? Ada 3 hal," jelas Bivitri.

Tiga dampak yang dikemukakan Bivtri adalah pembangkangan konstitusi karena gagasan pembatasan kekuasaannya dilanggar.

"Kita tidak mau konstitusi semau-maunya diubah oleh elite politik," tegasnya.

Bivitri melanjutkan, pemilu merupakan hal yang rutin bagi negara demokrasi. Sebab jika tak rutin, akan berdampak pada demokarsi yang memburuk.

"Suatu negara itu dikatakan demokrasi adalah pemilu yang (digelar) rutin, reguler. Kalau sudah tidak rutin, maka kita akan terjerembab jatuh, demokrasinya makin buruk. Sekarang ini kita sudah masuk demokrasi yang cacat dan banyak keburukan," ungkapnya.

Baca Juga: Jokowi Dinilai Lambat Respons Wacana Penundaan Pemilu, Ini Kata Pengamat Politik

Terakhir, demokrasi berarti adanya regenerasi kepemimpinan. Jika tak ada regenerasi, demokrasi akan stagnan dan tak sehat.

"Demokrasi itu membutuhkan regenerasi kepemimpinan. Jadi janganlah kita jadi terkunci soal ini pendukung Pak Jokowi atau bukan," tuturnya.

"Kita bicara soal jaringan politik. Kalau ini tak di-refresh. Maka seluruh aturan politik hukum, politik ekonomi tidak ada perubahan," jelasnya.



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x