Kompas TV internasional kompas dunia

Pilot Senior Sebut Turbulensi Ekstrem Singapore Airlines Kemungkinan Clear Air Turbulence, Apa Itu?

Kompas.tv - 22 Mei 2024, 23:06 WIB
pilot-senior-sebut-turbulensi-ekstrem-singapore-airlines-kemungkinan-clear-air-turbulence-apa-itu
Pesawat Boeing 777-312ER Singapore Airlines saat lepas landas dari Lapangan Udara Paine di Everett, Washington, Amerika Serikat (AS) pada 17 September 2013. (Sumber: Elaine Thompson/Associated Press)
Penulis : Ikhsan Abdul Hakim | Editor : Vyara Lestari

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pilot senior Indonesia, Hanafi Herlim menyatakan bahwa turbulensi ekstrem yang dialami pesawat Singapore Airlines nomor penerbangan SQ321 kemungkinan besar adalah clear air turbulence (CAT).

Hanafi menjelaskan, fenomena CAT tidak bisa dilihat (unseen), tidak bisa diidentifikasi (unidentified), dan tidak bisa diprediksi (unpredictable) oleh pilot. Pasalnya, fenomena ini terjadi saat cuaca cerah.

"Karena clear air turbulence itu cuaca dalam keadaan klir, total klir, dan hanya terjadi pada saat summer time atau di musim panas,” kata Hanafi dalam program Kompas Petang Kompas TV, Rabu (22/5/2024).

Baca Juga: Penumpang Singapore Airlines yang Tewas dalam Insiden Turbulensi Disebut Akan Berlibur ke Indonesia

“Kalau di musim hujan, awan buruk, putih mengilat sekali atau hitam pekat itu tandanya ada turbulens di dalamnya; pilot bisa melihat, dari mata bisa melihat, dari weather radar juga tampak, kelihatan, warnanya hitam pekat atau magenta, merah. Itu jelas dan pilot bisa menghindar,” katanya menambahkan.

Hanafi menambahkan, CAT umumnya terjadi saat pesawat terbang dengan level tinggi antara 35.000-39.000 kaki, tidak mungkin terjadi saat pesawat terbang rendah.

Menurutnya, clear air turbulence bisa terjadi karena pesawat memasuki arus jet, yakni bertemunya aliran udara cepat dan lambat yang bertemu di tengah. Hanafi menyebut fenomena ini tidak bisa dilihat dan menyebabkan turbulensi saat pesawat memasukinya.

Selain itu, Hanafi menyebut tindakan pilot yang menurunkan ketinggian pesawat dari 37.000 ke 31.000 kaki dalam kurun tiga menit, tepat. 

Menurutnya, tindakan ini ditempuh pilot untuk mengeluarkan pesawat dari area turbulensi. Pasalnya, area turbulensi umumnya terbentuk mendatar dan luas.

Sementara itu, pengamat penerbangan, Gerry Soejatman menduga para penumpang tidak mengenakan sabuk pengaman sehingga timbul banyak korban luka.

Gerry menyoroti penerbangan panjang SQ321 yang memakan waktu tempuh 11 jam dari London ke Singapura. Menurutnya, saat penerbangan panjang, penumpang cenderung melepaskan sabuk pengaman dan tidur.

“Lagi tidur, kebanyakan lepas seatbelt. Bisa saja pilotnya sudah nyalakan lampu seatblet tapi karena banyak yang tidur jadi nggak tahu,” katanya.

Gerry menambahkan, di sekitar lokasi turbulensi SQ321 memang kerap terjadi clear air turbulence. SQ321 sendiri mengalami turbulensi ekstrem saat melintas di atas Laut Andaman, perairan dekat Myanmar dan Teluk Bengal atau Benggala.

"Di daerah Teluk Bengal, di daerah Myanmar itu memang kondisinya biasanya banyak awan badai tapi jauh-jauh. Dan memang secara random ada clear air turbulence tersebut. Saya dalam 10 tahun terakhir kalau terbang lewat Teluk Bengal nggak pernah nggak kena turbulence,” katanya.

Turbulensi ekstrem Singapore Airlines SQ321 diketahui menewaskan satu penumpang dan menyebabkan 79 penumpang dan awak luka-luka.

Penumpang yang meninggal bernama Geoffrey Kitchen, pria berusia 73 tahun asal Inggris Raya. Kitchen diduga mengalami serangan jantung dan dalam perjalanan berlibur ke Indonesia saat naik pesawat tersebut.

Baca Juga: Pesawat Singapore Airlines SQ321 Alami Turbulensi Parah, Satu Penumpang Tewas Lainnya Luka-Luka


 



Sumber : Kompas TV



BERITA LAINNYA



Close Ads x