Kompas TV bisnis ekonomi dan bisnis

Biayai Belanja Negara, Pemerintah akan Tarik Utang Rp323, 4 T

Kompas.tv - 19 Mei 2021, 08:46 WIB
biayai-belanja-negara-pemerintah-akan-tarik-utang-rp323-4-t
Obligasi Negara Ritel (ORI), salah satu instrumen Surat Berharga Negara yang digunakan untuk menarik utang dari masyarakat (Sumber: DJPPR Kemenkeu) 
Penulis : Dina Karina | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV- Di kuartal-II tahun ini, atau selama periode April-Juni, pemerintah berencana menarik utang baru untuk membiayai APBN sebesar  Rp323,4 triliun.

Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) menyebut, utang tersebut akan berasal dari 3 sumber.

"Target pengadaan utang tunai kuartal-II 2021 sebesar Rp323,4 triliun, yang terdiri dari penerbitan Surat Utang Negara (SUN), penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), dan pinjaman tunai," sebut DJPPR dalam Debt Portfolio Review kuartal I-2021, dikutip Rabu (19/5/2021).

Rinciannya, rencana penerbitan utang dari SUN sebesar Rp194,6 triliun yang mengutamakan penerbitan SUN melalui lelang, penerbitan samurai bond, dan private placement dengan tujuan khusus.

Baca Juga: Terjerat Hutang Pinjaman Online Puluhan Juta Rupiah, Guru TK di Malang Dipecat

Lalu target penarikan utang dari SBSN mencapai Rp108,4 triliun, yang penerbitannya mengutamakan melalui mekanisme lelang, penerbitan sukuk valas, dan private placement.

Kemudian target dari pinjaman tunai sebesar Rp20,4 triliun kepada lembaga-lembaga internasional, seperti Bank Dunia (World Bank/WB), AIIB, KfW, dan JICA.

"Sumber pemberi pinjaman dapat berubah sesuai dengan progress negoisasi dan penyiapan dokumentasinya," ungkap DJPPR.

Pemerintah mewaspadai risiko ekonomi makro dan pembiayaan yang cenderung meningkat dalam rangka penerbitan utang pada April hingga Juni 2021.

Baca Juga: Buwas Minta Bantuan DPR Tagih Utang ke Pemerintah Rp 1,27 Triliun

Beberapa faktor yang menjadi sentimen antara lain  pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang lebih cepat, tensi geopolitik akibat kemungkinan berlanjutnya perang tarif AS dengan China, krisis Myanmar, serta adanya risiko penundaan pemberian vaksin Astrazeneca oleh beberapa negara. 

Tak hanya itu, risiko tersebut akan menimbulkan dampak bagi pasar keuangan dalam negeri yakni, berpotensi meningkatkan yield surat berharga AS. Hal ini akan mendorong penguatan dollar AS dan memberikan tekanan kepada sektor keuangan emerging market.

“Perang tarif dapat memicu instabilitas politik di kawasan dan penundaan pemberian vaksinasi dapat menyebabkan percepatan pemulihan ekonomi jadi terhambat,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Luky Alfirman, seperti dikutip dari Kontan.co.id, Rabu (19/05/2021).

Untuk memitigasi risiko tersebut, pemerintah akan terus memperkuat pendalaman pasar keuangan dalam negeri, berkoordinasi secara intensif dengan Bank Indonesia untuk menjaga cadangan devisa, membatasi impor secara selektif dan memberikan stimulus pada ekspor untuk mengurangi defisit transaksi berjalan. 

Baca Juga: Pemuda Ini Bunuh Guru Honorer Gara-Gara Utang Piutang CPNS, Begini Kronologinya

“Akan mengembangkan pasar ekspor non-tradisional dan melanjutkan program vaksinasi dengan diversifikasi produk vaksin, untuk mengurangi ketergantungan pada satu produsen,” terang Luky.

Untuk jangka panjang, pemerintah juga akan melanjutkan kebijakan pengurangan ketergantungan energi minyak bumi. 

Sepanjang kuartal I 2021, total utang yang ditarik pemerintah mencapai Rp414,98 triliun atau 24,3% persen dari target utang bruto 2021. Utang ini berasal dari SBN sebesar Rp398 triliun dan penarikan pinjaman mencapai Rp16 triliun. 

Sementara itu, realisasi utang neto hingga kuartal I tercatat Rp334,77 triliun atau 27,7 persen dari target utang neto sebesar Rp1.207,6 triliun.



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x