Kompas TV bbc bbc indonesia

Kisah 'Lady Imam' nan Kontroversial, Perempuan Pertama yang Pimpin Salat Jumat di AS dan Inggris

Kompas.tv - 16 April 2022, 05:35 WIB
kisah-lady-imam-nan-kontroversial-perempuan-pertama-yang-pimpin-salat-jumat-di-as-dan-inggris
amina wadud, atau kondang dijuluki Lady Imam di kediamannya di Yogyakarta, Indonesia. (Sumber: BBC Indonesia)
Penulis : Vyara Lestari

Seorang warga Amerika keturunan Afrika, amina wadud - yang menuliskan namanya tanpa huruf kapital - menjadi wanita pertama yang memimpin ibadah salat Jumat di Amerika dan Inggris pada 2005 dan 2008. Namanya dikenal publik sebagai 'Lady Imam'.

Namun, jauh sebelum itu, pada 1992 ia telah melakukan terobosan dengan menulis buku 'Quran and Woman.' Di dalam buku itu, amina menafsirkan Quran dari perspektif perempuan dalam berbagai topik, seperti signifikansi perempuan dalam Quran, juga peran dan hak perempuan dalam Islam.

"Saya tidak melakukannya untuk menjadi yang pertama dalam hal apapun, atau menjadi pemimpin bagi siapapun. Saya hanya sangat peduli akan hubungan saya dengan Quran dan perbedaannya dengan kenyataan yang saya alami, misalnya di dalam komunitas Muslim," kata amina.

Kini ia memilih menetap di Indonesia. Kepada BBC Indonesia dan jurnalis BBC spesialis urusan agama di Beirut, Lebanon, amina menceritakan perjalanannya memeluk Islam, dan upayanya mencapai keadilan gender. Tidak hanya bagi perempuan dan laki-laki tapi juga non-biner dalam konteks Islam.

"Saya akan merayakan ulang tahun ke-70 tahun ini, sekaligus 50 tahun memeluk agama Islam," kata dia.

"Saya merasa sangat beruntung, saya menemukan sesuatu yang membuat saya jatuh cinta, dan 50 tahun kemudian rasa cinta dan pesonanya tidak pernah pudar."

Baca juga:

Lahir di keluarga pendeta di Amerika Serikat

Memasuki tempat tinggal amina di Yogyakarta, saya 'disambut' sebuah meja di depan pintu masuk yang memajang beragam benda.

"Saya adalah Muslim eklektik," kata amina yang memilih namanya ditulis dalam huruf kecil semua, karena kata dia, bahasa Arab pun tidak mengenal huruf kapital.

Di atas meja terdapat beberapa kristal, kartu tarot, lambang pohon kehidupan dalam agama Buddha, lambang agama Yahudi dengan nama cucunya yang merupakan keturunan Yahudi, serta foto ibu dan saudara kandung perempuannya yang telah meninggal dunia.

"Saya senang menata meja ini sesuai dengan energi yang ingin saya rasakan di hari itu," kata amina. "Saya meletakan meja setelah pintu masuk agar ada aliran energi sesuai feng shui."

Keterbukaan amina akan keberagaman ritual dan agama tercermin sejak ia beranjak dewasa.

Ia lahir di sebuah keluarga pendeta Kristen Methodist di negara bagian Maryland, Amerika Serikat. Meski demikian, sebelum masuk Islam, amina memeluk dan mempraktikan agama Buddha.

"Bapak saya membesarkan saya dengan kasih sayang," kata amina kepada saya dan jurnalis BBC di Beirut, Lebanon, yang bergabung dalam sesi wawancara melalui sambungan online.

"Jadi saya tidak pernah memiliki pengalaman buruk yang membuat saya merasa perlu mencari alternatif [agama] lain. Tapi saya memang memiliki ketertarikan kuat terhadap keragaman agama," lanjut amina.

Agama keadilan di tengah ketidakadilan

Saat usianya menginjak 19, di tahun kedua perkuliahan, pada 1972, amina mengucap dua kalimat syahadat di sebuah masjid tidak jauh dari rumah kedua orang tuanya di Washington, D.C.

Pergerakan hak warga sipil keturunan Afrika di Amerika kental mewarnai latar belakang kehidupan amina kala itu.

"Di dalam komunitas warga Amerika keturunan Afrika, terdapat pemahaman Islam sebagai alternatif dari model agama Kristen, yang ada saat itu yang instrumental dalam perbudakan warga keturunan Afrika," kata amina.

Menurut amina, komunitas Amerika keturunan Afrika melihat Islam sebagai agama keadilan di tengah ketidakadilan berdasarkan warna kulit yang mereka alami saat itu.

Namun amina juga tidak menampik bahwa diskriminasi dan rasisme tidak berhenti begitu saja setelah ia memeluk Islam.

"Kita, dalam berbagai hal, naif terhadap kenyataan bahwa meski tidak ada justifikasi dalam Islam untuk rasisme, tapi tetap saja ada rasisme di dalam komunitas Muslim," lanjut amina.

Data PEW Reserch Center tahun 2019 menunjukan bahwa warga keturunan Afrika jumlahnya seperlima dari total umat Muslim di Amerika. Sekitar separuhnya adalah mualaf.

"Saat mulai memeluk agama Islam, saya hanya berpikir kenapa tidak dicoba saja."

"Saya tidak menyadari bahwa keputusan itu menjadi komitmen sepanjang hidup," kata amina sambil tertawa.

Baca juga:

Menjadi imam salat Jumat

amina wadud meraih gelar doktor dari University of Michigan, Amerika Serikat untuk studi Arab dan Islam. Ia juga mengenyam pendidikan bahasa Arab di American University di Kairo, Mesir, serta Studi Quran dan Tafsir di Universitas Al-Azhar, Mesir. Ia memulai riset untuk bukunya, Quran and Woman, sebagai bagian dari disertasinya sejak 1980-an.

"Saya mempelajari bahasa Arab sebagai kunci bagi pintu pemahaman [Al-Quran], bukan sebagai pintunya," kata amina.

Sejak diterbitkan 30 tahun lalu, Quran and Woman telah diterjemahkan ke dalam setidaknya tujuh bahasa, termasuk bahasa Indonesia.

Di dalamnya amina menulis: 'Yang paling membuat saya khawatir akan tafsir 'tradisional' adalah tafsir tersebut secara eksklusif ditulis oleh para pria. Itu berarti pria dan pengalaman pria dilibatkan [di dalam tafsir], dan wanita serta pengalaman wanita bisa jadi tidak diikutsertakan, atau diintrepertasikan lewat visi, perspektif, dan kehendak pria.'

"Banyak pemikiran telah dicurahkan pada ilmu tafsir. Saya tidak mengatakan semuanya salah, dan saya lah satu-satunya yang mengartikan Quran dengan baik, tidak," kata amina.

"Maksud saya, saya tidak bisa melihat, di dalam literatur itu, kenyataan hidup saya sebagai wanita Amerika keturunan Afrika diartikulasikan dengan kedalaman yang sama dengan seorang pria," kata amina lagi.

amina wadud saat memimpin salat Jumat di Inggris pada 2008. (Sumber: Adrian Dennis/Getty via BBC Indonesia)

Nama amina lebih dikenal luas pada 2005 setelah ia memimpin ibadah salat Jumat untuk jamaah laki-laki dan perempuan di New York, Amerika Serikat. Kala itu, ia mendapati dirinya di tengah pro dan kontra. Namun hal itu tidak menghentikannya untuk melakukan hal yang sama pada 2008 di sebuah masjid di Oxford, Inggris.

"Saya penuh kasih sayang, saya senang disayangi, dan tentunya saya menyayangi Allah tercinta. Jadi, tidak, saya tidak berniat menjadi kontroversial," kata amina.

"Namun, saya memahami bahwa aspek-aspek tertentu [seperti] kesejahteraan manusia harga diri, keadilan, rasa hormat, saling timbal balik, adalah hal-hal tanpa syarat. Jika Anda memberikan syarat pada wanita atau non-biner untuk mendapatkan keutuhan diri sebagai manusia, saya cenderung teguh pada pendirian saya sebagai oposisi akan hal itu."






Sumber : BBC


BERITA LAINNYA



Close Ads x