Kompas TV nasional hukum

Menteri PPPA Sebut Perkawinan Anak Sebagai Pelanggaran Hak Anak

Kompas.tv - 19 April 2021, 21:54 WIB
menteri-pppa-sebut-perkawinan-anak-sebagai-pelanggaran-hak-anak
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati saat membuka acara seri diskusi secara virtual yang digelar oleh Pimpinan Pusat `Aisyiyah sebagai pembicara kunci, Kamis (21/5/2020). (Sumber: YouTube: Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat `Aisyiyah)
Penulis : Fransisca Natalia | Editor : Gading Persada

JAKARTA, KOMPAS.TV - Menanggapi kasus perkawinan anak yang terus terjadi di Indonesia Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menegaskan bahwa perkawinan anak merupakan salah satu bentuk tindak kekerasan dan pelanggaran hak anak.

Ia menjelaskan, hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM), maka perkawinan anak juga bentuk pelanggaran HAM.

“Anak yang dipaksa menikah atau karena kondisi tertentu harus menikah di bawah usia 19 tahun akan memiliki kerentanan yang lebih besar. Selain pendidikan terhenti, pengaruhnya besar pada kesehatan reproduksi, juga rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, dan hidup dalam lingkaran kemiskinan,” terang Bintang Darmawati, dilansir dari Kompas.id (19/4/2021).

Dampak perkawinan anak tidak hanya akan dialami oleh anak, terutama anak perempuan yang dinikahkan, tetapi juga akan berdampak buruk pada bayi yang dilahirkan (kurang gizi dan tengkes).

Dalam jangka panjang perkawinan anak juga berdampak pada keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, serta generasi selanjutnya.

Baca Juga: Pandemi Covid Berkepanjangan, Perkawinan Anak di Bawah Umur Makin Melonjak

Ia kemudian menjelaskan terkait implikasi yang terjadi dari perkawinan anak. Setidaknya ada  lima tantangan nyata terhadap kelangsungan generasi bangsa.

Pertama, berpotensi kegagalan melanjutkan pendidikan. Perempuan yang menikah di bawah 18 tahun memiliki peluang empat kali lebih kecil untuk menyelesaikan pendidikan lebih tinggi dari SMA.

Kedua, berpotensi meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga dan perceraian.

Ketiga, perkawinan anak juga berpotensi meningkatnya angka kematian ibu. Hal tersebut berdasarkan pada kemungkinan terjadi komplikasi saat kehamilan dan melahirkan. 

Hal tersebut merupakan penyebab kematian terbesar kedua bagi anak perempuan berusia 15-19 tahun, serta rentan mengalami kerusakan organ reproduksi.

Keempat, berpotensi meningkatnya kematian bayi. Sebab bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah 20 tahun berpeluang meninggal sebelum usia 28 hari, atau 1,5 kali lebih besar dibanding jika dilahirkan oleh ibu berusia 20-30 tahun.

Baca Juga: Dispensasi Perkawinan Anak Naik 300 Persen, Menko PMK Minta MUI Terbitkan Fatwa

Kelima, berpotensi kerugian ekonomi. Perkawinan anak diperkirakan menyebabkan kerugian ekonomi setidaknya 1,7 persen dari pendapatan domestik bruto (PDB). Artinya, perkawinan anak berpotensi merugikan pembangunan sumber daya manusia di masa depan.

Meski dipengaruhi oleh berbagai faktor, menurut Bintang, persoalan ekonomi adalah salah satu penyebab perkawinan anak.

Di kalangan masyarakat, masih terdapat paradigma atau anggapan yang salah, bahwa dengan dinikahkan cepat, anak perempuan akan meringankan beban orang tua.

Padahal, kehidupan perkawinan yang tidak didasari dengan kesiapan akan sangat rentan memunculkan permasalahan-permasalahan baru.

“Itulah sebabnya mengapa kita merevisi UU Nomor 1 Tahun 1974 menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019. Perubahan usia minimum perkawinan tidak hanya ditingkatkan bagi perempuan, tapi juga mengakomodasi prinsip kesetaraan gender dan bentuk afirmasi progresif, yaitu menjadi 19 tahun, bagi laki-laki maupun perempuan,” tegas Bintang.

Baca Juga: Tawarkan Paket Nikah Muda 12-21 Tahun, KPAI Laporkan Aisha Wedding Organizer



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x