LONDON, KOMPAS.TV – Dalam politik, tidak ada lawan abadi. Begitu pula sebaliknya: tak ada kawan abadi. Bila politik berganti haluan, yang tadinya kawan pun bisa berubah jadi lawan, meski secara canggung.
Inilah yang terjadi pada Perdana Menteri Inggris Boris Johnson. Selama bertahun-tahun, ia tercatat kerap memberi komentar hal-hal positif tentang Donald Trump, mulai dari mengungkapkan kekaguman pada petahana presiden AS itu hingga menyebut Trump layak mendapat Hadiah Nobel Perdamaian.
Baca Juga: Menlu Inggris Dukung Donald Trump Raih Nobel Perdamaian
Namun, setelah kerusuhan yang dilakukan para pendukung Trump di Gedung Capitol pada 6 Januari lalu, Johnson mengubah nada bicaranya.
Trump, sebut Johnson, telah mendorong terjadinya pemberontakan disertai aksi kekerasan, mempermasalahkan hasil pemilu AS yang bebas dan adil, dan sepenuhnya berada di pihak yang salah.
Ini jelas merupakan perputaran haluan dramatis bagi seseorang yang kerap dibandingkan dengan Trump. Johnson juga disebut telah menahan diri selama bertahun-tahun untuk mengkritik Trump secara terbuka.
Sejumlah pemimpin dunia lain juga menghadapi dilema dalam menghadapi presiden yang mudah berubah dan tidak bisa ditebak ini, yang menghancurkan beragam kesepakatan dan institusi internasional dengan mengabaikannya. Namun, para pengkritik Johnson menyebut, pujian yang dilancarkan Johnson bagi Trump selama bertahun-tahun – beberapa bahkan menyebut Johnson kerap meniru Trump –, telah melukai otoritas internasional Inggris dan meracuni budaya politiknya.
Penulis : Vyara Lestari