> >

Refly Harun Berharap Tulisan Megawati Ilhami Hakim MK Ambil Keputusan Sengketa Pilpres 2024

Rumah pemilu | 9 April 2024, 16:31 WIB
Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri saat di program ROSI, KompasTv, Kamis (8/2/2024). (Sumber: Tangkap Layar Kompas TV.)



JAKARTA, KOMPAS TV - Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun berharap tulisan opini Ketua Umum PDI Perjuangan atau PDIP Megawati Soekarnoputri dapat mengilhami hakim Mahkamah Konstitusi (MK) agar berani membuat putusan yang menentukan arah demokrasi di Indonesia.

Menurut Refly, sesungguhnya yang dibutuhkan delapan hakim MK saat ini bukan lagi bukti, melainkan keberanian untuk memulai babak baru, bahwa siapa pun yang berlaku curang pada pilpres, akan mendapatkan hukuman yang dari kacamata demokrasi, wajib dijatuhkan, seperti mendiskualifikasi pasangan capres-cawapres nomor urut 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Diskualifikasi ini menjadi bagian dari petitum permohonan paslon nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan paslon nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Baca Juga: Ini Isi Pesan Megawati di Harian Kompas, Singgung Etika Presiden

Diketahui, Megawati menulis opini berjudul “Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi” di Harian Kompas edisi, Senin (8/4/2024).

“Mudah-mudahan, apa yang disampaikan Megawati memberikan penerangan bagi kita semua utamanya kepada hakim MK, bahwa inilah saatnya kita harus berani menunjukkan bahwa kita tidak takut ketika harus membela kebenaran walaupun kebenaran itu berusaha dihalangi dengan senjata,” kata Refly dalam keterangannya, Selasa (9/4/2024).

“Mudah-mudahan tulisan Megawati memberikan ilham bagi hakim MK untuk memutus. Sebenarnya yang dibutuhkan bukan lagi bukti tetapi keberanian untuk menentukan arah demokrasi Indonesia,” sambungnya.

Dia berharap semakin banyak tokoh masyarakat yang menyampaikan amicus curiae, sebagai sahabat pengadilan untuk memberikan dorongan dukungan keberanian kepada hakim MK agar memutus perkara sebaik-baiknya, sebenar-benarnya, serta sesuai apa yang berkembang di masyarakat dan di ruang pengadilan.

Sebab, terlalu mudah untuk menunjukkan bagaimana cawe-cawe Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memenangkan Prabowo-GIbran.

“Tapi masalahnya adalah apakah hakim MK punya keberanian untuk mendiskualifikasi paslon nomor 02 atau setidak-tidaknya mendiskualifikasi Gibran Rakabuming Raka,” kata Refly.

Sebelumnya dikutip dari Kompas.id, Megawati menuliskan rakyat Indonesia sedang menunggu dan akan mencatatkan dalam sejarah bangsa, apakah hakim Mahkamah Konstitusi dapat mengambil keputusan sengketa pemilu presiden dan wakil presiden sesuai dengan hati nurani dan sikap kenegarawanan, ataukah membiarkan praktik elektoral penuh dugaan penyalahgunaan kekuasaan (”abuse of power”) dalam sejarah demokrasi Indonesia?

Di tengah penantian lahirnya keadilan sejati di Mahkamah Konstitusi, perhatian saya tertuju pada sebuah patung Dewi Keadilan.
 
Patung itu ditaruh di samping meja ruang rapat kediaman saya agar mengingatkan pentingnya keadilan hakiki tanpa balutan kepentingan lain, kecuali keadilan itu sendiri.

Patung Dewi Keadilan yang saya beli ketika berada di Amerika Serikat itu mengandung beberapa pesan kuat.

Pertama, mata Dewi Keadilan tertutup kain. Mata tertutup menghadirkan ”keadaan gelap” agar tak tersilaukan oleh apa yang dilihat mata. Dengan mata tertutup itu, terjadi dialog dengan hati nuraninya dalam memutuskan perkara dengan tidak membedakan siapa yang berbuat.

Kedua, timbangan keadilan sebagai cermin keadilan substantif. Ketiga, pedang yang diturunkan ke bawah menegaskan bahwa hukum bukanlah alat membunuh, tetapi didasarkan pada norma, etika, kesadaran hukum, dan tertib hukum serta keteladanan para aparat penegak hukum.

Alangkah indahnya Dewi Keadilan!

Bagi bangsa Indonesia, pentingnya keadilan dalam seluruh kehidupan bernegara tecermin dalam Pancasila. Sebab Pancasila lahir sebagai jawaban atas praktik hidup eksploitatif akibat kolonialisme dan imperialisme.

Pancasila merupakan falsafah pembebasan yang terlahir dari dialog kritis antara Bung Karno dan Pak Marhaen. Dari situlah gagasan keadilan itu ditempatkan secara ideologis.

Keadilan dalam perspektif ideologis harus dijabarkan ke dalam supremasi hukum. Budaya hukum, tertib hukum, institusionalisasi lembaga penegak hukum, dan keteladanan aparat penegak hukum menjadi satu kesatuan supremasi hukum.

Sumpah presiden dan hakim Mahkamah Konstitusi menjadi bagian dari supremasi hukum. Namun, bagi hakim Mahkamah Konstitusi, sumpah dan tanggung jawabnya lebih mendalam dari sumpah presiden.

Karena itulah persyaratan menjadi hakim Mahkamah Konstitusi juga lebih berat, yakni tidak hanya menjalankan seluruh peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya sesuai Undang-Undang Dasar, tetapi juga ditambahkan syarat lainnya, yakni memiliki sikap kenegarawanan.

Baca Juga: Istana Soal Tulisan Megawati Diduga Sindir Presiden, Bahlil: Jangan Suuzon

Dengan sikap kenegarawanan tersebut, hakim Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab terhadap terciptanya keadilan substantif dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara sebagai hal yang paling utama.

 



Dengan tanggung jawab ini, keputusan hakim Mahkamah Konstitusi atas sengketa pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) sangat ditunggu rakyat Indonesia, apakah keadilan substantif dapat benar-benar ditegakkan, atau sebaliknya semakin terseret ke dalam pusaran tarik-menarik kepentingan kekuasaan politik?

Penulis : Fadel Prayoga Editor : Iman-Firdaus

Sumber : Kompas TV


TERBARU