> >

Pemerintah sebut Pajak Bahan Pokok Untuk Optimalkan Penerimaan Negara

Ekonomi dan bisnis | 10 Juni 2021, 15:30 WIB
Bahan pokok yang banyak dikonsumsi masyarakat seperti tempe akan segera dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (Sumber: Kompas TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pemberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk  bahan kebutuhan pokok yang tengah diusulkan pemerintah melalui  Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang baru, mendapat banyak tentangan. Apalagi jika dibandingkan dengan kebijakan pemberlakuan insentif pajak hingga 100 persen terhadap mobil dan rumah.

Namun pemberlakuan aturan tersebut sudah dikaji dengan baik sesuai dengan kondisi yang berlaku. RUU tersebut disiapkan untuk meningkatkan penerimaan negara setelah pandemi berakhir.   Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis, Yustinus Prastowo melaui akun Twitternya menjelaskan,  rencana pengenaan PPN itu memang  terkait dengan penurunan penerimaan pajak pemerintah akibat pandemi. Sehingga ketergantungan terhadap utang akan semakin tinggi.

Pemerintah, menurutnya, tengah berupaya  memaksimalkan penerimaan pajak dan tidak bergantung pada utang. Salah satunya dengan menerapkan  multitarif PPN, yang  menurut dia telah diberlakukan di berbagai negara lain.  Sehingga penerimaan PPN menjadi lebih optimal.

“Kenapa sih penerimaan PPN kita belum optimal? Ini salah satu jawabannya.  Terlalu banyak pengecualian dan fasilitas. Indonesia negara dengan pengecualian terbanyak. Ya memang dermawan dan baik hati sih. Cuma kadang distortif dan tidak tepat. Bahkan jadi ruang penghindaran pajak,”ujarnya.

Pemberlakuan PPN tersebut dianggap justru memberi rasa keadilan secara menyeluruh. Selain itu, tujuan pemajakan akan tercapai. “Pengaturan yang demikian justru menjadikan tujuan pemajakan tidak tercapai.  Yang mampu bayar tidak membayar karena mengonsumsi barang/jasa yang tidak dikenai PPN. Ini fakta. Maka kita perlu memikirkan upaya menata ulang agar sistem PPN kita lebih adil dan fair, “ sebutnya.

Langkah yang adil menurutnya, pajak PPN tetap diberlakukan, namun porsinya yang lebih rendah dibandingkan barang mewah. “Yang dikonsumsi masyarakat banyak (menengah bawah) mustinya dikenai tarif lebih rendah, bukan 10 persen. Sebaliknya, yang hanya dikonsumsi kelompok atas bisa dikenai PPN lebih tinggi. Ini adil bukan? Yang mampu menyubsidi yang kurang mampu. Filosofis pajak kena: gotong royong,” tambahnya.

Penulis : Juni Triyanto Editor : Purwanto

Sumber : Kompas TV


TERBARU