> >

Kesetaraan Gender Masih Sulit Direalisasikan di Zaman Modern, Alasannya?

Brandsight | 26 Juni 2020, 15:18 WIB

KOMPASTV - Zaman sudah modern dan perempuan saat ini tidak lagi hanya berkutat dengan pekerjaan domestik di rumah. Perempuan semakin sadar akan haknya dan menyadari dirinya punya kemampuan yang sama dengan laki-laki untuk melakukan banyak hal.

Perempuan masa kini mengenyam pendidikan tinggi. Bahkan saat ini, perempuan menjadi ujung tombak perekonomian negara. Misalnya saja seperti di Indonesia, kontribusi terhadap ekonomi banyak disumbang oleh pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) perempuan.

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mencatat bahwa kontribusi UMKM perempuan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mencapai 9,1 persen pada 2019. Selain itu, kontribusi UMKM yang dikembangkan perempuan terhadap ekspor mencetak angka lebih dari 5 persen.

Kontribusi ini, nyatanya masih berbanding terbalik dengan situasi di lapangan. Pandangan sebelah mata bahwa perempuan hanya pintar dalam mengurus keluarga dan tidak berpotensi sukses, acapkali terjadi dan menurunkan mental perempuan.

Disamping itu, masih banyak juga perempuan yang terkendala untuk menerima haknya sebagai individu yang bebas. Penyebabnya, tak lain akibat masih adanya stigma dan disriminasi dari masyarakat.

Berikut merupakan lima penyebab sulitnya merealisasikan kesetaraan gender:

1. Budaya Patriarki

Budaya partiarki merupakan warisan turun temurun yang masih diadopsi oleh berbagai negara Asia, termasuk Indonesia. Menurut Wikipedia, budaya patriarki merupakan akar akan munculnya kekerasan yang dialamatkan kepada perempuan.

Salah satu contohnya yaitu tuntutan bagi perempuan untuk mengurus tugas rumah tangga, seperti mencuci pakaian ataupun memasak bagi keluarga. Selain itu, perempuan yang akan menikah kerapkali terpaksa mundur dari pekerjaannya akibat permintaan laki-laki yang tak ingin sang perempuan bekerja di luar rumah.

Meski saat ini Indonesia telah memiliki dasar hukum yang tak mengenal gender, budaya ini tak serta merta menghilang.

2. Pola asuh

Rumah dan orangtua merupakan gerbang pertama akan pentingnya kesadaran dan toleransi antar gender. Pola asuh orangtua yang masih melakukan bias gender dapat terlihat melalui adanya perbedaan tugas dan tanggung jawab bagi anak laki-laki dan perempuan.

Anak perempuan dipandang memegang tanggung jawab penuh akan tugas domestik, sedangkan anak laki-laki hanya diwajibkan untuk membantu mencari uang.

Pola asuh juga melahirkan konsep maskulinitas dan feminim pada kedua gender. Riset YouGov menemukan bahwa sifat kekuatan,ketegasan, dan kecerdasan merupakan sifat laki-laki. Sedangkan sifat perempuan dicerminkan melalui kepekaan, emosional, dan kasih sayang sehingga perempuan merasa tidak pantas untuk tampil tegas, cerdas, dan kuat.

3. Posisi perempuan dalam keluarga

Selain dibebankan oleh tugas domestik, perempuan juga dituntut untuk berperan lebih banyak, mulai dari melahirkan hingga mengurus anak. Norma ini pula yang pada akhirnya memandang bahwa perempuan tidak memerlukan pendidikan yang tinggi. Sebab, perempuan akan kembali ke ranah domestik alias rumah setelah menikah.

Lembaga inisiasi milik pemerintah Australia, Investing In Women melakukan pendataan terhadap peran perempuan dalam keluarga. Hasilnya, norma sosial mengakibatkan perempuan cenderung memandang rendah dirinya melalui anggapan bahwa perempuan hanyalah pencari nafkah sekunder.

4. Keseimbangan antara keluarga dan pekerjaan

Beberapa perempuan yang beruntung mendapatkan pendidikan dan pekerjaan layak, tak sepenuhnya lepas dari beban domestik. Riset YouGov menemukan bahwa 51 persen perempuan Indonesia memiliki status ibu sekaligus perempuan karier.

Waktu kerja yang kurang fleksibel, menciptakan dilema tersendiri bagi perempuan. Akibatnya, banyak perempuan memilih untuk keluar dari pekerjaannya setelah menikah dan memiliki anak.

International Labour Organization (ILO) juga menemukan bahwa perempuan bekerja cenderung kesulitan menemukan fasilitas penitipan anak dengan biaya terjangkau baik di dekat rumah maupun tempat kerja.

5. Pembatasan dalam perusahaan

Penelitian Workplace Gender Equality menemukan bahwa laki-laki masih mendominasi jabatan penting meski berada di lingkungan dengan dominasi perempuan.

Di industri secara menyeluruh, jumlah representasi CEO perempuan berkisar di angka 17,1 persen pada 2018. Sementara posisi manajer mencapai angka 30,5 persen. Disamping itu, kurangnya fasilitas publik seperti ruang laktasi dan perbedaan gaji secara umum, turut menjadi bagian disriminasi secara tidak langsung bagi perempuan.

Belajar melihat setara

Mengubah stigma memang tak semudah membalikan telapak tangan, masih banyak tantangan dan perbedaan yang sepatutnya disadari oleh seluruh pihak. Terutama pada lingkungan masyarakat maupun industri profesional seperti wilayah perkantoran.

Memahami kondisi tersebut, salah satu perusahaan Fast Moving Consumer Goods (FMCG) P&G memiliki inisiatif untuk mewujudkan kesetaraan gender. Salah satunya melalui program #WeSeeEqual yang bermakna keberagaman dan kesetaraan bagi seluruh individu.

Mewujudkan kesetaraan tersebut diwujudkan P&G dengan belajar melihat bahwa semua gender setara dimulai dari lingkup perusahaan. Pimpinan Keragaman dan Inklusi Procter & Gamble (P&G) Indonesia, Angela Hertiningtyas, mengungkapkan bahwa P&G memiliki misi untuk memberikan keadilan dan kesempatan yang sama tanpa memandang gender.

“P&G menyuarakan kesetaraan baik dalam segi kesempatan kerja, promosi, hingga fasilitas dan aturan yang sama bagi seluruh pegawai, khususnya bagi perempuan yang memerlukan fasilitas khusus seperti ruang laktasi maupun cuti hamil dan haid,” ujar Angela.

Kesempatan berkarir berdasarkan kinerja juga dianggap lebih adil, sebab pada dasarnya kinerja pegawai didasarkan pada kemampuan serta motivasi yang dimiliki oleh masing-masing individu.

“Seharusnya, selama karyawan melakukan tugasnya dengan baik, maka semua kesempatan seharusnya adil dan berlaku untuk semua,” lanjut Angela pada Rabu (24/06/2020) melalui conference call dengan tim Kompas.tv.

Program #WeSeeEqual juga menjadi salah satu bagian dari nafas P&G untuk menciptakan dunia yang lebih baik lewat keberagaman dan kesetaraan gender.

“Seluruh program kami berlandaskan jargon #WeSeeEqual, inilah yang menjadi landasan ketika kami menyuarakan kesetaraan-kesetaraan gender,” tutup Angela.

P&G juga menyuarakan pentingnya kesetaraan melalui kunjungan ke berbagai sekolah sekaligus mengedukasi konsumen melalui campaign yang ada di dalam produk-produk miliknya, untuk meningkatkan kesadaran akan keberagaman dan kesetaraan. 

Penulis : Theo-Reza

Sumber : Kompas TV


TERBARU