JAKARTA, KOMPAS.TV - Sejumlah wilayah di Indonesia masih dibayangi cuaca ekstrem akibat pengaruh aktifnya fenomena atmosfer global, terutama Madden-Julian Oscillation (MJO) yang kini terpantau berada di fase 5 (Benua Maritim).
Bersamaan dengan itu, gelombang Kelvin dan Rossby Ekuatorial juga terdeteksi aktif dan bergerak melintasi wilayah Indonesia, memicu pertumbuhan awan konvektif penyebab hujan lebat.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), kombinasi ketiga fenomena atmosfer tersebut berperan besar dalam meningkatkan potensi pembentukan awan hujan secara luas, khususnya di bagian barat dan tengah Indonesia.
Hasilnya, banyak wilayah masih mengalami curah hujan di atas normal meski secara klimatologis telah memasuki awal musim kemarau.
Baca Juga: Peringatan Dini BMKG Besok 20-21 Mei 2025, Jawa Timur Waspada Hujan Sangat Lebat hingga Ekstrem
"Hujan dengan intensitas lebat hingga sangat lebat masih berpotensi terjadi akibat aktivitas MJO dan gelombang atmosfer tersebut," demikian penjelasan BMKG dalam prospek cuaca periode 20-22 Mei 2025 dilansir dari rilis di media sosial, Senin (19/5).
BMKG menetapkan status siaga (hujan lebat-sangat lebat) di sejumlah wilayah pada Selasa (20/5), yaitu:
Sementara itu, Jawa Timur dikategorikan status awas karena berisiko mengalami hujan ekstrem yang dapat berdampak signifikan terhadap keselamatan dan aktivitas masyarakat.
BMKG juga mencatat potensi angin kencang di wilayah Maluku dan Nusa Tenggara Timur, yang turut diperkuat oleh pergerakan massa udara kering dari Australia.
Baca Juga: BMKG Juanda Masih Imbau Warga Jawa Timur Waspadai Potensi Cuaca Ekstrem Timbulkan Bencana
Selain fenomena global, dinamika cuaca ekstrem juga dipengaruhi oleh sirkulasi siklonik yang terbentuk di Laut Cina Selatan, Laut Maluku, dan perairan utara Maluku Utara.
Sistem ini membentuk zona perlambatan angin (konvergensi) dan pertemuan angin (konfluensi) yang memicu pembentukan awan hujan secara lokal di wilayah:
Kondisi ini memperbesar peluang hujan lebat, petir, dan angin kencang, meski cakupan wilayahnya lebih sempit dibanding saat puncak musim hujan.
Meski beberapa wilayah mulai menunjukkan tanda-tanda masuk musim kemarau akibat pengaruh massa udara kering dari Australia, fenomena atmosfer berskala luas seperti MJO dan gelombang Kelvin tetap menjadi faktor utama penyebab cuaca tidak menentu di pekan ini.
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : BMKG
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.