JAWA TIMUR, KOMPAS.TV - Legenda Gunung Lawu, Mbok Yem, berpulang di usia senjanya pada Rabu (23/4/2025) pukul 13.30 WIB di kediamannya di Dusun Dagung, Desa Gonggang, Kecamatan Poncol, Magetan.
Sebelum meninggal, sosok yang dikenal sebagai penjaga warung tertinggi di Pulau Jawa ini sempat menyampaikan keinginan sederhana yang menggambarkan kerinduan akan keluarga: ia ingin berhenti menjaga warung dan menghabiskan waktu bersama cucunya.
“Ya, dia inginnya di rumah menjaga cucunya, karena cucunya jarang ditunggui, tahu-tahu sudah besar. Makanya, Mbok Yem rencananya kalau sudah pulih tidak lagi menunggui warungnya,” ujar Syaiful Gimbal, cucu sekaligus juru bicara keluarga, saat ditemui di rumah duka mengutip Kompas.com.
Baca Juga: Teater Musikal C’est la Vida Meriahkan Pekan Frankofoni 2025 di Jakarta
Selama puluhan tahun, nama Mbok Yem lekat dengan pengalaman spiritual dan fisik pendakian ke Puncak Gunung Lawu. Warungnya, yang berada di ketinggian lebih dari 3.000 meter di atas permukaan laut, bukan hanya tempat mengisi perut — tetapi juga simbol kekuatan dan dedikasi seorang perempuan Jawa terhadap tradisi, alam, dan kemanusiaan.
Rencana yang Tak Tersampaikan
Beberapa waktu sebelum wafat, kondisi Mbok Yem sempat membaik dan ia masih menjalani rawat jalan usai perawatan di RSU Aisyiyah Ponorogo. Namun, luka di kakinya yang tak kunjung sembuh karena kekurangan protein membuat proses pemulihan berjalan lambat.
“Luka di kakinya itu belum sembuh dan besok itu jadwalnya untuk kontrol. Kalau kondisinya, sehat sebetulnya,” kata Syaifudin Juhri, salah satu kerabat dekat.
Meski tubuhnya lemah, Mbok Yem sempat meminta hal yang mengejutkan di tengah kondisinya: ia ingin mandi. Sementara itu, tiga hari terakhir, ia sudah tak lagi berselera makan atau minum — hanya sesekali mengonsumsi susu.
“Tiga hari ini Mbok Yem tidak mau makan atau minum, kalau minum paling susu, itu pun sudah jarang mau minum. Kemarin sempat minta mandi,” ungkap Syaifudin.
Keputusan tentang siapa yang akan melanjutkan mengelola warung legendarisnya di puncak Gunung Lawu, hingga kini belum ditentukan. Menurut Syaiful Gimbal, keputusan itu akan dibicarakan setelah keluarga cukup siap secara emosional.
“Kalau bagaimana dengan keberadaan warungnya, akan dibicarakan kalau kondisi Mbok Yem sudah sembuh betul. Kita fokus bagaimana kondisi Mbok Yem segera sehat kembali,” ucap Gimbal, sebelum wafat sang nenek diumumkan.
Baca Juga: Bentara Budaya Yogyakarta Gelar Pameran Seni Kertas 23 Januari – 1 Februari 2025
Perempuan Gunung, Penjaga Tradisi
Mbok Yem bukan sekadar penjaga warung. Ia adalah penjaga ruh Gunung Lawu — memberi makan pendaki jam 2 pagi, menyambut peziarah dalam kabut, dan menaruh semangkuk nasi dengan telur goreng sebagai simbol keramahtamahan yang langka.
Kini, Lawu tak lagi sama. Hawa dingin puncaknya kehilangan satu pelindung hangatnya. Namun kenangan tentang Mbok Yem akan terus menyala dalam setiap langkah pendaki yang menuju puncak, dalam setiap teguk teh panas yang diseruput sambil menatap kabut.
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas TV
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.