JAKARTA, KOMPAS.TV — Indonesia menandatangani kesepakatan untuk memulangkan seorang warga negara Prancis yang sakit dan dijatuhi hukuman mati sejak tahun 2007 atas tuduhan peredaran narkoba, Jumat (24/1/2025).
Pada tahun 2015, Serge Atlaoui memperoleh penangguhan hukuman mati di menit-menit terakhir sebelum menghadapi regu tembak yang beranggotakan 13 orang.
Perjanjian pemindahan tersebut ditandatangani dari jarak jauh oleh Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Kemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Kehakiman Prancis Gérald Darmanin. Kesepakatan ini juga disaksikan oleh delegasi dari kedua negara di Jakarta dan Paris.
Perjanjian tersebut ditandatangani setelah Atlaoui yang kini berusia 61 tahun, mengajukan permohonan terakhir untuk dipulangkan bulan lalu.
Baca Juga: Malam Tahun Baru di Prancis Diwarnai Kerusuhan: Hampir 1.000 Mobil Dibakar, 420 Orang Ditahan
Ayah empat anak tersebut, yang dilaporkan menderita kanker, menulis surat kepada pemerintah Indonesia untuk meminta agar ia menjalani sisa hukumannya di Prancis. Kesepakatan tersebut akan memungkinkannya untuk kembali ke negara asal pada tanggal 4 Februari mendatang.
“Pemerintah Indonesia telah memutuskan untuk tidak mengeksekusi tahanan tersebut dan telah setuju untuk memindahkannya ke Prancis,” kata Yusril dalam konferensi pers bersama yang dihadiri oleh Duta Besar Prancis untuk Indonesia, Fabien Penone.
Penone berterima kasih kepada pemerintah Indonesia karena telah mengabulkan permintaan Atlaoui.
"Kami ingin mengembangkan kerja sama hukum kami dengan cara yang jauh lebih lugas. Kami memperkuat hubungan bilateral kami, kami memiliki kemitraan yang nyata,” ujar Penone seperti dikutip dari The Associated Press.
Atlaoui ditangkap pada tahun 2005 atas dugaan keterlibatannya dalam sebuah pabrik yang memproduksi obat psikedelik MDMA, yang terkadang disebut ekstasi, di pinggiran Jakarta. Pengacaranya mengatakan bahwa ia bekerja sebagai tukang las di pabrik tersebut dan tidak mengerti untuk apa bahan kimia di tempat itu digunakan.
Atlaoui mengaku tidak bersalah selama 19 tahun masa penahanan di balik jeruji besi. Ia mengeklaim bahwa ia memasang mesin di tempat yang ia kira adalah pabrik akrilik.
Namun demikian, polisi menyatakan bahwa dia adalah ahli kimia di tempat tersebut. Ia awalnya dijatuhi hukuman seumur hidup, tetapi Mahkamah Agung pada tahun 2007 meningkatkan hukumannya menjadi hukuman mati saat pengajuan banding.
Kasusnya telah menarik perhatian warga Prancis, yang dengan keras menentang hukuman mati di semua tempat dan dalam semua keadaan. Yusril mengatakan pemerintah Prancis telah memberitahunya bahwa hukuman pidana maksimum di Prancis adalah 30 tahun penjara.
Baca Juga: Tangis Haru Terpidana Mati Mary Jane Bertemu Keluarga di Filipina Usai Terpisah 15 Tahun
“Setelah dipulangkan, kewenangan untuk merawat terpidana sepenuhnya berada di bawah pemerintah Prancis," kata Yusril.
“Jika Prancis ingin mengampuni Atlaoui atau memberikan grasi, itu sepenuhnya kewenangan mereka dan yang juga harus kita hormati," tambahnya.
Indonesia mengeksekusi delapan terpidana mati pada Mei 2015, tetapi Atlaoui diberi penangguhan eksekusi karena ia masih memiliki banding pengadilan yang belum dituntaskan. Pengadilan Tata Usaha Negara di Jakarta menolak banding tersebut bulan berikutnya.
Sumber : The Associated Press
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.