Kompas TV nasional rumah pemilu

Soal Cawe-Cawe Jokowi Jelang Pilpres 2024, Pengamat: Ada Unsur Politik Praktis yang Kuat

Kompas.tv - 1 Juni 2023, 22:36 WIB
soal-cawe-cawe-jokowi-jelang-pilpres-2024-pengamat-ada-unsur-politik-praktis-yang-kuat
Pengamat politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam menyebut cawe-cawe Presiden Jokowi memiliki unsur politik praktis yang kuat, Kamis (1/6/2023) di Kompas Petang, Kompas TV. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)

JAKARTA, KOMPAS.TV - Pengamat politik Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) sedang mencoba bermain kata saat pembuat pernyataan cawe-cawe terkait Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.

"Sebenarnya kalau misal kita merujuk dalam konteks statement Presiden, Presiden sendiri mencoba untuk bermain kata," kata Ahmad di program Kompas Petang, Kompas TV, Kamis (1/6/2023).

Akan tetapi, sambung dia, ia juga menyoroti pernyataan dari Kantor Staf Presiden yang menyebut bahwa cawe-cawe Jokowi bukan dalam konteks politik praktis.

"Tapi kalau di-traceback (dijejaki) dalam proses manuver dan juga pendekatan politik presiden, memang diakui atau tidak ada unsur politik praktis yang cukup kuat," tegasnya.

Ia pun merujuk pada pernyataan sejumlah ketua umum (ketum) partai politik (parpol)  yang saat ini menjadi menteri di kabinet Jokowi, misalnya Ketum Golkar Airlangga Hartarto dan Ketum Partai Amanat Nasional (PAN) sekaligus Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan.

"Statement (pernyataan -red) Ketum Golkar yang saat ini menjadi Menko Perekonomian, Pak Airlangga, menyatakan bahwa untuk menentukan koalisi ke depan akan menunggu arahan dan petunjuk dari Pak Jokowi," ujarnya.

Baca Juga: Peneliti BRIN: Pernyataan Cawe-cawe Presiden Jokowi Membuat Situasi Politik Lebih Tegang

"Kemudian Pak Mendag, Pak Zulkifli Hasan juga menegaskan, bahwa Pak Jokowi merupakan panglima politik tertinggi di dalam konteks pemilihan capres-cawapres," imbuhnya.

Artinya, sambung Ahmad, fakta menunjukkan adanya dampak politik praktis, meski pernyataan para ketum itu diklaim sebagai bagian dari kepentingan politik kenegaraan.

"Meskipun diklaim bahwa hal itu merupakan bagian dari kerja kepentingan politik kenegaraan, tetapi fakta menunjukkan bahwa ada implikasi terhadap politik praktis," ujarnya.

Menurut dia, pemilu yang terbuka, adil dan demokratis menghendaki adanya netralitas kekuasaan negara. Oleh karena itu, netralitas pemerintah harus sangat dijaga dengan benar.

Masalahnya, kata dia, kekuasaan negara dalam konteks pemilu sering kali dimanfaatkan oleh sejumlah kekuatan sebagai bagian dari upaya kontestasi dalam ruang berdemokrasi.

"Problemnya adalah, proses politisasi yang terjadi itu sering kali memang tidak mudah untuk dibuktikan, tapi begitu mudah dirasakan," jelasnya.

Baca Juga: Tanggapi Cawe-Cawe Jokowi, Nasdem Harap Presiden sebagai Negarawan Jaga Pemilu Jujur dan Adil

Ahmad menjelaskan, politisasi kekuasaan negara sering kali menggunakan the invisible hands (tangan-tangan tak terlihat atau aktor politik yang tidak terlihat gerakannya).

"Artinya, di dalam konteks penggunaan instrumen kekuasaan, hal itu menjadi hal yang sering kali terjadi dan inilah yang harus diantisipasi untuk menghadirkan proses demokrasi yang seimbang," pungkasnya.


 



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x