JAKARTA, KOMPAS.TV - Setelah sempat beredar luas saat pandemi Covid-19, teori konspirasi soal mikrochip ditanam dalam vaksin kini kembali menyerang vaksin tuberkulosis (TBC) M72. Kali ini, klaim palsu menyebut bahwa vaksin yang dikembangkan GlaxoSmithKline (GSK) dan didukung Bill & Melinda Gates Foundation itu mengandung chip untuk mengontrol manusia.
Namun, para ahli dan pemerintah Indonesia tegas membantah isu ini.
“Vaksinnya aman, tidak ada chip,” kata Prof. Dr. dr. Erlina Burhan, M.Sc, Sp.P(K), dokter spesialis paru sekaligus peneliti utama vaksin M72 dari Indonesia, mengutip Kompas.com, beberapa waktu lalu.
Kementerian Kesehatan RI melalui laman Sehat Negeriku juga kembali menegaskan bahwa isu mikrochip dalam vaksin, baik Covid-19 maupun TBC, adalah murni hoaks tanpa dasar ilmiah.
Baca Juga: Respons BGN soal Ratusan Siswa Keracunan MBG di Bogor, Sebut Tanggung Pengobatan hingga Uji Lab
Mikrochip di Vaksin? Lubang Jarum Suntik saja Tidak Memungkinkan
Teori mikrochip yang menempelkan koin ke lengan pasca vaksinasi, menurut ahli, hanyalah ilusi dari keringat dan kulit lembap, bukan bukti adanya logam atau chip di tubuh manusia.
“Lubang jarum suntik terlalu kecil untuk menyuntikkan partikel logam, apalagi chip magnetis,” tegas Prof. Dr. dr. Sri Rezeki Hadinegoro, dokter anak konsultan infeksi & penyakit tropis.
Ia menjelaskan vaksin hanya terdiri dari protein, garam, lipid, dan pelarut, tanpa unsur logam sedikit pun. Bahkan koin logam seperti Rp1.000 tidak bisa menempel karena efek magnet, karena nikel yang digunakan tidak bersifat magnetik.
Siti Nadia Tarmizi, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes RI, menambahkan bahwa cairan vaksin hanya 0,5 cc dan langsung terserap ke jaringan tubuh—tidak menyisakan benda asing.
26 Tahun Riset, Diawasi Ketat, dan Tidak Ada Unsur “Kontrol Manusia”
Adapun Vaksin M72 adalah hasil penelitian selama lebih dari dua dekade, bukan hasil rekayasa instan. Dalam unggahan di akun X miliknya, Prof. Erlina menegaskan vaksin ini dikembangkan lewat tahapan panjang: dari riset laboratorium, uji pada hewan, hingga uji klinis manusia.
“Keamanan dan keselamatan partisipan menjadi prioritas. Kendali ada di tangan kita,” tulis Prof. Erlina.
Uji klinis fase 3 saat ini melibatkan lebih dari 20.000 partisipan di lima negara: Afrika Selatan, Kenya, Indonesia, Zambia, dan Malawi. Indonesia menyumbang 2.095 partisipan dan menjadi lokasi strategis pengujian vaksin ini, dengan pengawasan ketat dari Badan POM dan Komite Etik Nasional.
Jika ditemukan potensi risiko, pemerintah Indonesia punya kewenangan penuh untuk menghentikan uji coba.
Bagikan perspektif Anda, sumbangkan wawasan dari keahlian Anda, dan berkontribusilah dalam memperkaya pemahaman pembaca kami.
Sumber : Kompas.com, Sehat Negeriku
Gabung ke Channel WhatsApp KompasTV untuk update berita terbaru dan terpercaya.