Kompas TV kolom opini

Dongeng Memedi Sawah

Kompas.tv - 11 Mei 2023, 06:00 WIB
dongeng-memedi-sawah
Ilustrasi memedi sawah. (Sumber: Istimewa)

Oleh: Trias Kuncahyono

Mas Hari. Begitu saya biasa menyapanya. Sahabat saya ini tinggal di Yogyakarta. Ia seorang wartawan, fotografer, dan juga perupa. Kami pernah  bekerja sama dan bekerja bersama di harian Bernas, pada awal tahun 1990-an.

Sore kemarin, mendadak saya ingat Mas Hari, yang dulu hampir setiap malam nongkrong bersama di angkringan minum teh nasgitel sambil menikmati malamnya Yogya. Kadang kami, nongkrong makan mi jawa sambil ngobrol soal rencana-rencana liputan untuk esok harinya.

Buru-buru saya kontak Mas Hari, lewat WA. Lalu, kami ngobrol. Biasa, kami ngobrol macam-macam, layaknya sahabat yang lama enggak ketemu.

Sebelumnya, berulang kali kami janjian untuk ketemuan. Tapi, tak pernah terwujud. Setiap kali saya pulang ke desa di Yogya, maunya ketemu namun hanya sampai “mau” saja tak pernah terwujud.

Saya ingat pada tahun 2019, Mas Hari menggelar pameran tunggal seni rupa keliling. “Pameran Seni Rupa Memedi Sawah”. Begitu judul pameran itu.

Pameran yang dilaksanakan mulai bulan Februari hingga Maret 2019 itu, digelar secara berkeliling: Bentara Budaya Jakarta, Bentara Budaya Bali, Bentara Budaya Balai Soedjatmoko Solo, dan Bentara Budaya Yogyakarta.

***

Ketika saya tanya, mengapa waktu itu menggelar pameran memedi sawah. Kata Mas Hari, situasi menjelang Pemilu 2019 memang menakutkan, seperti memedi sawah yang digerak-gerakkan petani menakuti burung-burung pipit yang tengah menjarah padi.

Masa kampanye, waktu itu, didominasi oleh kampanye yang mengapitalisasi isu-isu SARA, politik identitas, konten berita palsu dan ujaran kebencian, teror, serta olok-olok politik antar kubu terkait isu-isu yang tidak substantif, dan segala macamnya yang membuat banyak orang, terutama yang berpikiran waras, mencemaskan masa depan negeri ini.

Kondisi itu diperparah dengan masifnya mobilitas kampanye di media sosial dalam segala macam platformnya, melalui mobilisasi influencers dan pasukan buzzer. Tujuannya adalah untuk mempercepat amplifikasi dan penyebaran isu. Alih-alih mendorong proses pemilu yang berkualitas, fenomena ini justru semakin menambah polarisasi di masyarakat.

Menurut temuan riset Puskapol, UI – Center for Political Studies (2019), konteks kontestasi pilpres saat itu antara lain merupakan residu dari tajamnya polarisasi politik dan politisasi isu-isu identitas yang terjadi selama Pilpres 2014 dan Pilgub DKI Jakarta 2017. Ada semacam dinamika kontestasi dan polarisasi yang terus dirawat.

Fenomena industri konsultan politik, influencer, dan buzzer dalam kampanye digital pasangan calon. Selain berperan penting dalam menentukan produksi isu dan amplifikasi konten kampanye di platform digital, peran mereka juga turut memperburuk polarisasi politik dan politisasi isu-isu identitas. Setiap isu-isu non-programatik terus direproduksi dan diglorifikasi oleh cyber army masing-masing kubu.

Kata Mas Hari, sebelum Pemilu 2019, segala macam yang menimbulkan rasa takut, yang meneror masyarakat, yang membuat rakyat kecil takut –entah itu berita hoaks, ujaran kebencian, fitnah, politik identitas, dan segala macamnya– seperti memedi sawah yang meneror burung-burung pipit.

Dengan kata lain, memedi sawah adalah simbol teror. Benar, memedi sawah adalah simbol teror (bagi burung pipit atau hama padi lainnya). Maka, para petani memasang memedi sawah di sawah mereka ketika padi mulai menguning agar tidak dijarah pasukan burung pipit.

***

Cerita Mas Hari itu mengingatkan saya waktu masih tinggal di desa, dulu. Ketika padi sudah mulai menguning, maka mulailah para petani memasang orang-orangan sawah, memedi sawah. Karena, orang-orangan itu fungsinya untuk menakut-nakuti burung yang biasanya ketika padi mulai menguning datang berombongan, bisa puluhan bahkan ratusan jumlahnya, memakan bulir-bulir padi yang sudah menguning itu.

Jadi, orang-orangan sawah adalah medium para petani untuk menjaga tanaman budidayanya dari agresi hama pertanian khususnya burung-burung seperti pipit, emprit. Orang-orangan itu diikat dengan tali panjang sampai ke gubug tempat petani menunggui sawahnya.

Dari gubug itulah petani menggerak-gerakkan orang-orangan dengan menarik-narik talinya, sambil berteriak-teriak mengusir laskar burung-burung yang menyerbu padinya. Selain berteriak-teriak, mereka juga membunyikan geprak–bambu yang dibelah.

Orang-orangan sawah itu ada hampir di seluruh peradaban agraris di lingkungan kehidupan. Hanya bentuknya berbeda-beda sesuai dengan kultur kebudayaan masing-masing. Nama-nama sebutan pun berbeda-beda, sesuai bahasa setempat, meskipun fungsinya sama.

Misalnya, ada yang menyebut memedi manuk (Jawa), beubeugig (Sunda), kakashi (Jepang), nuffara (Malta), epouvantail (Prancis), spaventapasseri (Italia), espantalho (Portugal), espantapájaros (Spanyol), scarecrow (Inggris), Ting Mong (Khmer), dan lain-lain masih banyak lagi.

***

Sekarang ini, padi belum menguning. Maka, panen raya pun belum tiba. Malah, ibarat kata, saat ini musim tanam padi baru saja mulai. Itu berarti, orang-orangan sawah, memedi sawah belum perlu dipasang. Belum ada pasukan burung emprit yang harus ditakut-takuti, diteror.

Tetapi, anehnya para “tengkulak” padi sudah mulai banyak yang berkeliling di daerah-daerah persawahan. Meski tanaman masih hijau, masih membutuhkan pupuk, masih perlu disiangi, dan butuh banyak air.

Mereka berkeliling dari desa ke desa, sambil menebar janji, nanti akan membeli panenan dengan harga tinggi. Mereka, para “tengkulak” itu tahu bahwa masih banyak “petani” yang tergantung pada mereka, untuk memenuhi kebutuhan saprodi. Dalam posisi seperti itu, para “tengkulak” dapat memainkan harga seenaknya sendiri.

Untungnya, ada bahkan banyak “petani” yang pintar, yang tidak mudah jatuh dalam bujuk rayu dan iming-iming para “tengkulak.” Mereka tidak tergoda tawaran para “tengkulak” yang mau ngijon. Mereka bersabar, menggarap sawahnya, hingga padi benar-benar menguning baru dipanen dan dijual dengan harga yang pantas.

Para “tengkulak” itu, bagi mereka, bagi para “petani” yang waras, justru laksana memedi sawah. Mereka tidak takut pada memedi sawah. Mereka bukan burung pipit, burung emprit yang mudah ditakut-takuti.

Yang mudah ditakut-takuti dengan memedi sawah, hanyalah burung pipit, burung emprit. Inilah burung yang bernyali kecil.

Memedi sawah yang hanya menakutkan para “petani” kecil, seperti burung pipit. Burung-burung pipit itu hanya berani menyerang tanaman padi secara bergerombol, dan hanya bisa bercuit-cuit. Tapi takut pada memedi sawah.

Sekarang ini, memedi sawah tidak lagi medeni, menakutkan. Yang medeni, yang menakutkan adalah para pembuat memedi sawah itu. Mereka tidak hanya bisa membuat memedi sawah untuk meneror burung-burung pipit, tapi mereka bisa membuat teror dalam bentuk-bentuk yang lain.

***

Tapi, apakah situasi sekarang ini menjelang musim panen raya, sama seperti menjelang (bahkan saat dan setelah) panen raya 2019, Mas? Begitu pertanyaan yang saya ajukan pada Mas Hari.

Kata Mas Hari, tanda-tanda seperti itu sudah mulai terlihat dan terasa. Ada yang mulai main-main dengan politik identitas. Ada yang nyebar-nyebar video hoaks. Ada yang bikin pernyataan-pernyataan memanas-manasi. Tengkulak-tengkulak ada di mana-mana. Tapi, moga-moga tidak bablasan, moga-moga selamat. Moga-moga tidak seperti ketika panen raya tahun 2021.

“Kan, hanya keledai to Mas yang dua kali terperosok ke lubang yang sama…kita ini kan manusia-manusia waras, nduwe ati, nduwe rasa, nduwe nalar…lan kepingin urip tentrem, rukun karo sepada-pada…damai, saling hormat-menghormati, toleran…lha, kalau untuk merebut kekuasaan tapi mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan, nilai-nilai kewarasan …lantas apa artinya. Ya, kan Mas?” kata Mas Hari.

Jadi, Mas Hari…apakah sampeyan akan pameran seni lagi …?

 



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.