Kompas TV nasional berita kompas tv

Tarif Rapid Test Kemenkes Rp 150.000, PB IDI: Harusnya yang Diatur Alatnya Bukan Tarif Pelayanannya

Kompas.tv - 8 Juli 2020, 10:59 WIB
tarif-rapid-test-kemenkes-rp-150-000-pb-idi-harusnya-yang-diatur-alatnya-bukan-tarif-pelayanannya
Ilustrasi rapid test dilakukan kepada pegawai Brastagi Supermarket (19/5/2020) setelah 1 kasir di swalayan tersebut dinyatakan positif Covid-19. (Sumber: TRIBUN MEDAN/Victory Arrival)
Penulis : Deni Muliya

JAKARTA, KOMPAS.TV - Surat Edaran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Nomor HK.02.02/I/2875/2020 mengatur tarif maksimal layanan rapid test mandiri Rp 150.000.

Baca Juga: Rapid Test Corona Gratis Bagi Peserta Ujian Masuk PTN

Pengaturan tarif maksimal itu diatur untuk mempermudah masyarakat yang membutuhkannya.

Dalam edaran itu tertuliskan harga yang bervariasi untuk pemeriksaan rapid test menimbulkan kebingungan di masyarakat. 

Untuk itu diperlukan peran serta pemerintah dalam masalah pemeriksaan rapid test antibodi agar masyarakat tidak merasa dimanfaatkan untuk mencari keuntungan.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dokter Slamet Budiarto mengatakan, bahwa harga Rp 150.000 itu tak cukup untuk menutup seluruh beban biaya pelayanan.

Menurutnya, harga tersebut impas dengan harga alat rapid test, padahal masih ada komponen lain dalam pelayanan, seperti bahan habis pakai atau alat kesehatan, alat pelindung diri (APD), dan jasa medis.

Itu artinya, bila Kemenkes menetapkan tarif maksimal rapid test Rp 150.000, maka fasilitas kesehatan seperti pihak rumah sakit (RS) harus menutupi kekurangan biaya untuk komponen lainnya.

Baca Juga: Polemik Komersialisasi Rapid Test, Epidemiolog: Lebih Baik Diberhentikan!

Dengan demikian, hal inilah yang disebut dokter Slamet berpotensi mengacaukan pelayanannya.

"Harusnya yang dilakukan oleh Kemenkes adalah mengatur harga maksimal (alat) rapid testnya, bukan tarif pelayanan. Sekarang harga dasar rapid test Rp 150-200 ribu tergantung dari buatan mana. Ada buatan China, Eropa, Korea, Amerika," kata dokter Slamet kepada awak media, Rabu (8/7/2020).

"Ada sebagian kecil oknum RS yang membuat tarif mahal, tapi sebagian besar RS tarifnya rasional," imbuhnya.

Slamet menyarankan, sebaiknya rapid test memang tidak usah digunakan sebagai syarat wajib untuk misalnya bepergian dalam negeri, cukup surat keterangan sehat tidak memiliki gejala penyakit. 

Hal itu untuk menghindari tuduhan bisnis sebagai salah satu faktor terhadap rapid test.



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x