Kompas TV kolom opini

Jejak Soeharto Sebagai Komandan Pasukan

Kompas.tv - 8 Juni 2020, 00:10 WIB
jejak-soeharto-sebagai-komandan-pasukan
Presiden Soeharto saat dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia, 27 Maret 1968 (Sumber: KOMPAS/Pat Hendranto)

Oleh: Aris Santoso (pengamat TNI)

Citra Soeharto selama ini lebih dikenal sebagai penguasa otoriter sepanjang 32 tahun Orde Baru (1966-1998). Sementara sosoknya sebagai mantan komandan pasukan, nyaris dilupakan publik. Sebagai komandan pasukan, Soeharto termasuk “jago perang” juga, dan bisa disejajarkan dengan nama-nama legendaris seperti Ahmad Yani, Slamet Rijadi, AE Kawilarang, Dading Kalbuadi, dan seterusnya.

Bila kita melihat gaya berpolitik Soeharto selama berkuasa, tampaknya dia banyak mengadopsi model atau taktik operasi militer, semacam serangan fajar atau operasi senyap. Operasi senyap biasa dilakukan Soeharto bila ingin menyingkirkan pesaingnya, salah satunya terhadap Mayjen Ibrahim Adjie, Pangdam Siliwangi (1960-1966), yang dikenal sangat setia pada Soekarno.

Membendung Pengaruh Kodam Siliwangi

Proses tersisihnya Ibrahim Adjie bisa disebut “operasi senyap”, karena berlangsung secara diam-diam dan simbolik, yang mungkin Ibrahim Adjie sendiri tidak menyadarinya. Mungkin karena karisma Ibrahim Adjie yang begitu besar, Soeharto tampak hati-hati, beda (misalnya) ketika Soeharto menyingkirkan jenderal Soekanois lain seperti Mayjen Pranono Reksosamudro (terakhir Aspers KSAD) atau Mayjen (Marinir) Hartono (Komandan Korps Marinir), yang cenderung “kasar”.

Soeharto menyingkirkan Ibrahim Adjie dengan cara subtil (halus), yakni melalui upacara peresmian Brigade Infanteri 17/Kujang I, di Bandung, tanggal 20 Mei 1966. Soeharto selaku KSAD (d/h Pangad) turun langsung ke lapangan dengan melantik Letkol Inf Himawan Soetanto (lulusan MA Yogya) sebagai komandan Brigade pertama. Sementara Mayjen Ibrahim Adjie selaku Pangdam, dan Brigjen HR Dharsono (Pak Ton, Kasdam Siliwangi), cukup menyaksikan dari panggung kehormatan.

Upacara tersebut bisa dibaca sebagai “salam perpisahan” bagi Ibrahim Adjie, sebab tepat sebulan kemudian posisinya (selaku Pangdam) digantikan Brigjen HR Dharsono, dan nama Ibrahim Adjie secara perlahan hilang ditelan sejarah. Ia kemudian  “didubeskan” ke Inggris hingga tahun 1970. Dua peristiwa ini, peresmian Brigif 17 dan pencopotan Ibrahim Adjie, adalah cara Soeharto untuk sedikit mengurangi dominasi Kodam Siliwangi, sebagaimana citra yang berkembang sebelumnya.

Soeharto sebagai bagian dari rumpun (Kodam) Diponegoro, sudah menunjukkan eksistensinya sebagai “penguasa” baru di Angkatan Darat pasca-Peristiwa 1965. Mengingat sebelumnya ada kesan, Kodam Diponegoro selalu berada di bawah bayang-bayang Kodam Siliwangi. Soeharto semakin menunjukkan superioritas nya terhadap Siliwangi, ketika dia akhirnya juga menyingkirkan HR Dharsono. Kebersamaan Soeharto dan Pak Ton ternyata hanya seumur jagung, setelah bersekutu sejenak untuk membersihkan unsur Soekarnois di Siliwangi, utamanya Ibrahim Adjie sendiri.

Mengadopsi Taktik Satuan Infanteri

Peristiwa kedua yang bisa dihubungkan dengan kepiawaian Soeharto selaku komandan pasukan adalah ikhtiarnya yang seolah “merayap” atau “merangkak” menuju panggung kekuasaan di Jakarta.

Para pengamat politik secara metaforis menyebutnya sebagai “kudeta merangkak” untuk menggambarkan bagaimana Soeharto mencapai Istana, dan mengeliminir (Presiden) Soekarno secara bertahap. Kudeta yang selama ini biasa kita kenal, adalah gerakan sekali gebrak, namun Soeharto memilih jalan yang berbeda. Bila melihat demikian cepatnya Jenderal Soeharto mengatasi pergolakan di Jakarta pada hari-hari di awal Oktober 1965, hingga secara perlahan kekuasaan beralih ke tangannya, kita boleh berasumsi, tampaknya Soeharto telah menyiapkan diri sejak lama.



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x