Kompas TV video news vlog

[FULL] Ahli Epidemiologi Kritik Kebijakan New Normal

Kompas.tv - 30 Mei 2020, 18:40 WIB
Penulis : Abdur Rahim

JAKARTA, KOMPASTV – Wacana pemerintah untuk menerapkan new normal mendapat kritikan dari ahli epidemiologi Universitas Indonesia, Pandu Riono. Menurut Pandu, penetapan new normal ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati dengan perhitungan yang matang.

Ahli epidemiologi UI ini menyebut, dasar penerapan new normal ini adalah angka reproduksi yang menurun.

Untuk dapat menghitung angka reproduksi virus corona ini dibutuhkan data-data persebaran yang akurat.

Menurutnya, data yang dimiliki pemerintah tidak akurat.

“Sampai sekarang juga datanya tidak akurat. Jadi, tidak mungkin kita kan mau menghitung angka reproduksi number (R)”, ujar Pandu Riono kepada Kompas TV (27/5/2020)

Baca Juga: Ridwan Kamil Tinjau Rumah Ibadah Jelang Pelaksanaan New Normal

Dosen Universitas indonesia ini menuturkan, apabila pemerintah tak memiliki data yang akurat, pemerintah harus mempertimbangkan tiga indikator lain, di antaranya:

  1. Indikator Epidemiologi. Dalam indikator ini, jumlah kasus, PDP, ODP, dan tingkat kematian diharuskan turun paling tidak selama 2 minggu.
  2. Indikator Kesehatan Publik. Dalam indikator ini, pelayanan untuk test Covid-19 di Indonesia tidak boleh turun, bahkan harus ditingkatkan. Selain itu, pemerintah juga diminta tetap melaksanakan test Covid-19 dan terus melakukan pelacakan kasus. Selain itu, pada indikator ini kebiasaan masyarakat dalam menerapkan protokol kesehatan juga harus dipertimbangkan, seperti memakai masker, cuci tangan, dan jaga jarak.
  3. Indikator Kesiapan Layanan Kesehatan. Layanan dan peralatan kesehatan tetap harus dipersiapkan dengan baik. Hal ini dilakukan demi mengatasi adanya gelombang kedua. Apabila ada peningkatan pasien, pemerintah diharapkan siap dengan peralatan yang dibutuhkan.

Pandu pun mengamini penerapan new normal adalah salah satu cara untuk mencegah terjadinya gelombang kedua persebaran virus corona.

Belajar dari pandemi flu spanyol tahun 1919, sekitar 50 juta warga negara dunia meninggal akibat Flu Spanyol.

Sebagian besar di antara mereka meninggal saat gelombang kedua.

“Masyarakat tu euforia, oh... pandeminya cuma segini. Kemudian, mereka begitu sudah mereda, tidak mematuhi, tidak memakai masker” ujarnya.

Dosen fakultas kesehatan masyarakat ini menekankan, saat ini belum tepat untuk melaksanakan new normal. Menurutnya, indikator kesehatan belum terpenuhi.

“Belum, karena kita belum terpenuhi. Kalau indikator kesehatan sudah terpenuhi, baru itu saat yang tepat. Boleh saja direncanakan. Tapi implementasinya tunggu dulu, sampai indikator kesehatannya terpenuhi", imbuhnya.



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x