Kompas TV kolom opini

Kawan Lama

Kompas.tv - 12 Mei 2020, 14:21 WIB
kawan-lama
(Sumber: Istimewa)

Oleh : Trias Kuncahyono

Kami berkawan sejak masih sama-sama sekolah di taman kanak-kanak. Itu artinya, perkawanan kami sudah lebih dari setengah abad. Kami tinggal di desa. Karena itu, taman kanak-kanaknya pun model desa zaman dulu. 

Tidak sehebat sekarang ini, baik gedung maupun peralatan sekolahnya, tentu. Dinding gedung sekolah dari bambu, gedek. Murid-murid tidak berseragam, pun pula tidak bersepatu. Kami masih ingat ibu guru kami: Ibu Bariyah.

Kenangan lebih dari setengah abad itu, hingga kini masih melekat dalam batin dan hati kami berdua. Sehabis sekolah kami selalu makan bersama, di rumahnya yang hanya terletak sekitar sepuluh meter dari pagar sekolahan. Kalau mengenang masa lalu, kami selalu tertawa, senang. 

Meskipun, menurut Jalaluddin  Rumi (1207-1273) salah seorang sufi yang begitu kondang, “Hari kemarin telah berlalu, dan ceritanya sudah diceritakan. Hari ini benih-benih baru tumbuh.” Tetapi, toh tetap menyenangkan merawat benih-benih baru sambil mengingat hari kemarin.

Baca juga tulisan lain Trias Kuncahyono disini

Sebenarnya kami sudah berpisah sebelum menyelesaikan pendidikan di sekolah dasar. Kelurganya pindah, karena ayahnya sebagai seorang polisi pindah tempat tugas. 

Sejak berpisah, kami tidak pernah berkomunikasi karena memang tidak ada alat untuk komunikasi seperti zaman kiwari yang serba moderen. Apalagi, bertemu. Kami bertemu lagi sekitar sepuluh tahun  kemudian, yakni tahun 1975. Kami tinggal satu asrama.

Sejak itu, perkawanan kami kembali bersemi dan tumbuh. Bahkan menjadi semakin dekat, seperti saudara. Di kemudian hari, kami berpisah lagi dan bersua kembali ketika ia sudah menjadi seorang tokoh dan dikenal sangat pandai. 

Meski demikian, kami tetap bersahabat seperti dahulu. Akrab. Bersaudara. Menurut kata-kata bijak, “Alter ego est amicus, cuncta mecum habet communia, sahabat adalah diriku yang lain, dengannya semua menjadi milik bersama.” Begitulah kami.

Belum lama ini, di tengah-tengah sepak-terjang Covid-19 yang nggegirisi (sangat menakutkan) itu, kami berkomunikasi lewat video calling.  Ia membongkar kembali pengalaman masa kecil kami, ketika masih hidup dan tinggal di desa. 

Yang ia ceritakan tentang betapa kuatnya rasa persaudaraan penduduk desa, pada masa lalu. Mereka guyup, rukun, saling tolong menolong, dan memegang prinsip hidup gotong-royong, toleran, saling hormat-menghormati walau berbeda keyakinan dan agama, beda kelas sosial. Dulu di desa ada istilah sambatan, tolong-menolong.

“Tahu enggak, mengapa bisa seperti itu di masa lalu?” katanya.

”Mengapa?” tanya saya pendek.

“Di masa lalu, hal itu bisa terjadi, barangkali karena  masih kuatnya rasa di antara penduduk desa bahwa orang tidak bisa hidup sendiri. Mereka menyadari bahwa dalam hidup, seseorang membutuhkan bantuan orang lain,” jelasnya.

Sebelum saya berkomentar, ia sudah mengatakan, “Salah satu karya penyair John Donne adalah ‘No Man is an Island’. Dua bari pertama puisi itu berbunyi, ‘No man is an island/ entire of itself/ every man/ ia a piece of the continent/ a part of the main.’ “

Lalu ia menambahkan, “Jauh sebelumnya, sejarawan Romawi, Gaius Sallustius Crispus (86 SM-34 SM), sudah mengatakan, alterum alterius auxilio est, seseorang membutuhkan bantuan orang lain.” Ia lalu mengatakan bahwa John Donne adalah seorang penyair asal Ingris yang hidup antara tahun 1572-1631.

“Memang, orang tidak bisa hidup sendiri. Tak mempedulikan orang lain. Mengucilkan diri di suatu tempat, seperti pulau yang jauh dari utara dan selatan,” komentar saya singkat.

Dengan cepat ia menyambung, “Ya, karena setiap orang menyadari akan perlunya orang lain. Maka kalau ada tetangga yang kesulitan, kerepotan, dirundung duka, tertimpa kemalangan, dahulu orang di desa kita biasanya akan segera membantu.

Bantuan akan diberikan secara tulus, tanpa mengharapkan imbalan. Bukan memberikan bantuan dengan memegang prinsip do ut des, saya beri agar engkau memberi.”

“Hal itu berarti berkait dengan  kerelaan untuk bertanggung jawab terhadap hidup orang lain. Hidup dengan orang lain--di desa, di kampung, di kota baik  dalam komunitas kecil maupun besar, atau di manapun--di sekitar kita menuntut hal yang paling penting yakni turut bertanggung jawab terhadap mereka.

Tidak ada orang yang hidup bagi dirinya sendiri. Setiap orang mempunyai tanggung jawab terhadap orang lain,” katanya.

Cara orang hidup bersama di tengah masyarakat sering kali menentukan mutu kehidupan. Dan, karenanya menentukan keadaan dalamnya setiap orang memahami dirinya dan mengambil berbagai keputusan tentang dirinya serta panggilannya.



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.