Kompas TV nasional berita kompas tv

Tersapu Badai Revolusi Senyap - Opini Budiman Eps. 8

Kompas.tv - 11 Mei 2020, 10:28 WIB
Penulis : Laura Elvina

Oleh: Budiman Tanuredjo

Badai pandemi Covid-19 yang menyerang dunia laksana ”revolusi senyap”. Tanpa kelihatan wujudnya, makhluk renik ini telah mengubah wajah dunia.

Kapitalisme yang selama ini diagung-agungkan dan menjadi prinsip dasar percaya pada mekanisme pasar berhenti sejenak. Kapitalisme yang selalu ditandai perputaran pasar finansial kini melambat.

Kini, peran negara justru menguat. Semuanya mengundang negara melakukan intervensi. Apakah ini pertanda akan ada koreksi atas kapitalisme, tetap menjadi pertanyaan?

”Revolusi senyap” yang terjadi di dunia dan Indonesia mengarah pada deindustrialisasi. Gelombang PHK terjadi di sejumlah tempat. Terjadi juga definansialisasi akibat kebijakan penjarakan fisik melalui pembatasan sosial berskala besar. PSBB tetap perlu didukung, tetapi perlu disiplin ketat. Keselamatan rakyat adalah prinsip utama dan harus menjadi pedoman.

Di Indonesia, ”revolusi senyap” ini juga membuyarkan mimpi-mimpi besar soal pemindahan ibu kota yang diberi nama Negara Rimba Nusa. Wacana soal pemindahan ibu kota pun sedikit memudar disapu ”revolusi senyap”.

Gagasan soal RUU Omnibus Law Cipta Kerja pun terkesampingkan karena memicu resistensi masyarakat. Isu pemberantasan korupsi lenyap dari diskursus publik.

Entah karena memang tidak ada lagi korupsi, atau memang KPK sudah diamputasi. KPK menjadi lembaga yang manis. Dia tak lagi menjadi anak nakal reformasi. Tak ada lagi kegaduhan KPK karena pemberantasan korupsi. Hal itu dipuji sejumlah politisi yang senang dengan kultur korupsi. Dalam bahasa aktivis, reformasi telah dikorupsi.

Dunia seakan kekosongan wacana. Wacana publik memang dijejali dengan antisipasi, aksi dan reaksi, soal ”revolusi senyap” Covid-19, juga di Indonesia. Para menteri Kabinet Indonesia Maju pun seakan lenyap tersapu ”revolusi senyap”.

Tanpa terasa, Kabinet Indonesia Maju sudah enam bulan bekerja. Tepatnya 194 hari per Sabtu, 2 Mei 2020. Survei 100 hari kepemimpinan, atau 200 hari kepemimpinan, juga belum muncul.

Beberapa menteri Presiden Jokowi tak muncul dalam panggung wacana media arus utama. Namun, ada juga yang dominan mewarnai pemberitaan. Berita itu ada dalam tone positif ataupun negatif.

Melacak data dalam Pusat Informasi Kompas (PIK), yang merekam pemberitaan harian Kompas dan Kompas.id pada periode 20 Oktober 2019 hingga 1 Mei 2020, terekam 1.849 pemberitaan dari para menteri Presiden Jokowi.

Yang paling banyak disebut, bisa menjadi narasumber utama, atau sekadar disebut, dalam PIK adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang terekam dalam 140 pemberitaan dengan bermacam-macam nada pemberitaan. Menyusul Mendikbud Nadiem Makarim (134), Menko Polhukam Mahfud MD (129), Mendagri Tito Karnavian (110), Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (103), Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto (94), dan Menlu Retno Marsudi (93).

Jika diambil rata-rata, mayoritas menteri Presiden Jokowi berada di bawah rata-rata pemberitaan menteri lainnya. Kesenjangan sebagai pusat pemberitaan— minimal yang terekam harian Kompas— sangat senjang. Menkeu Sri Mulyani yang bisa disebut paling banyak diberitakan 140 berita, tetapi ada beberapa menteri yang berada di bawah 20 sebagai sumber berita ataupun sebagai pusat pemberitaan. Bahkan, dalam rekaman PIK ada menteri yang hanya enam kali menjadi berita selama kurun waktu hampir 200 hari. Rekaman dalam PIK itu tentunya berbeda dengan panggung media sosial.

Minimnya menteri yang muncul dalam panggung media, khususnya Kompas, bisa saja karena memang tersapu ”revolusi senyap”. Ada yang dikerjakan para menteri, tapi tak cukup terkomunikasikan kepada publik. Atau, ya memang belum ada yang dikerjakan sehingga publik pun tak tahu apa yang dikerjakan. Atau ada menteri yang sekadar menikmati posisi menteri tanpa tahu apa yang harus dikerjakan, meski visi-misi Presiden Jokowi sangat jelas.

Bisa subyektif

Rekaman pemberitaan tentu bisa saja subyektif karena tergantung kebijakan jurnalistik media. Sebaliknya, branding lewat media sosial yang dikelola kementerian bisa juga subyektif karena bisa hanya sebagai sarana pencitraan. Boleh jadi, Kantor Staf Presiden punya rekaman data kinerja para menteri. Sebagaimana pernah dikatakan Presiden Jokowi sejauh mana kebijakan Presiden itu terwujud menjadi hasil nyata di lapangan. Bukan hanya janji, melainkan membayar janji itu karena hakikat kekuasaan untuk rakyat. Takhta untuk rakyat.

Wacana saat ataupun pasca-Covid-19 tetaplah perlu. Kekosongan wacana di tengah ”revolusi senyap” tetaplah perlu diisi. Elite punya ruang mengisi wacana itu. Wacana untuk mengingatkan, menguatkan solidaritas, juga menawarkan solusi, dan wacana membangun harapan Indonesia pasca-Covid-19.

”Revolusi senyap” Covid-19 membuka mata bangsa ini soal tidak terperhatikannya isu kesehatan. Sebanyak 90 persen alat kesehatan masih impor dan menurut Menteri BUMN Erick Thohir dikuasai mafia. ”Revolusi senyap” membuka mata kita soal karut-marutnya data meski ada KTP elektronik. ”Revolusi senyap” membuka mata bahwa hubungan pusat dan daerah tengah bermasalah. ”Revolusi senyap” juga membuka mata soal kualitas kepemimpinan di daerah atau di pusat.

Belum tahu ”revolusi senyap” kapan akan berakhir. Meskipun diembuskan Kepala Gugus Tugas Letjen TNI Doni Monardo—yang untuk pertama kalinya mengenakan kembali seragam militer saat menjadi Kepala Gugus Tugas—mudahan-mudahan jika semua berdisiplin bulan Juli 2020 kehidupan sudah memasuki situasi normal baru. Harapan itu tentunya harus jadi target yang harus terukur bagaimana mencapainya.

Waktu bagi Presiden Jokowi tidaklah banyak. Hampir setahun pemerintahannya sampai 20 Oktober 2020 akan terfokus pada urusan Covid-19, kemudian pada pemulihan ekonomi. Pada 2022, politik elektoral pasti akan mengemuka menjelang kampanye Pemilu 2024. Karena mepetnya waktu itulah, Presiden Jokowi perlu melihat kinerja menterinya atau staf milenialnya, apakah bisa mengakselerasi atau justru menghambat pemerintahan.

Terbukti politik dekonstruksi Presiden Jokowi dengan mengangkat staf milenial kini menjadi beban politik. Beruntung, staf milenial itu tahu diri dan memilih mundur daripada terus menjadi beban. Langkah itu bagus. Akan tetapi, koreksi program yang berbau nepotisme tetap perlu dilakukan agar tidak terus jadi bulan-bulanan. ”Revolusi senyap” jadi momentum introspeksi dan evaluasi diri melihat karakter para pembantunya.

Artikel ini telah tayang di KOMPAS Sabtu, 02-05-2020. Halaman: 02, Tersapu Badai ”Revolusi Senyap”



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x