Kompas TV kolom opini

Renan, Bung Karno, dan Romo Ageng

Kompas.tv - 25 April 2020, 14:47 WIB
renan-bung-karno-dan-romo-ageng
Ernest Renan (Sumber: Istimewa)

Oleh Trias Kuncahyono

Apakah kalian semua tahu siapa Joseph Ernest Renan? Begitu, Romo Ageng  mengawali khotbahnya.

Mungkin orang lebih biasa dengan sebutan Ernest Renan, tidak pakai Joseph. Ernest Renan (1823-1892), seorang sastrawan, filolog, filsuf, dan sejarawan dari Perancis.

Tokoh inilah yang disebut-sebut Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, saat pidato; pidato yang mengiringi lahirnya Pancasila.

Dengan mengutip pendapat Renan, Bung Karno mengatakan: syaratnya bangsa  adalah ‘kehendak untuk bersatu.’  Renan menyebutnya, le desir d’etre ensemble.

Sebab, bangsa adalah satu jiwa, une nation est un ame. Selain itu, une nation est un grand solidarité, satu bangsa adalah satu solidariteit (rasa kesetiakawanan) yang besar (Daniel Dhakidae, ed. dalam HS Dillon dan Idham Samudra Bey: 2013).

Niat dan semangat untuk bersatu itu, sudah lama muncul. Meskipun, pada mulanya  masih terkungkung dalam komunitas-komunitas berbasis etno-religius dan kelas sosial yang bersifat lokal dan fragmentaris (Yudi Latif: 2011)

Pada tahun 1928, terjadi terobosan besar. Ketika itu, kaum muda melepaskan belenggu etno-religius dan kelas sosial yang bersifat lokal dan fragmentaris dengan penuh kesadaran. Mereka menemukan komitmen kebangsaan baru: Kebangsaan Indonesia. Pendek kata, komitmen kebangsaan inilah yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda.

Para pemuda bersumpah, menjadi satu nusa, satu bangsa, satu bahasa yakni Indonesia.

Ketika itu, mereka--tak peduli dari masa asalnya, sukunya apa, etnisnya apa,  agamanya apa, bahasanya apa, warna kulitnya apa, tak peduli jenis gendernya, bentuk rambutnya apa, dan aneka perbedaan lain—bersatu padu, mengikrarkan diri menjadi satu. Benar yang dikatakan oleh Renan bahwa adanya  le desir d’etre ensemble, kehendak untuk bersatu, yang telah melahirkan bangsa ini.

Jauh waktu sebelumnya di negeri ini, sudah dirumuskan oleh Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma sebagai Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharmma Mangrwa, berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran yang mendua. “Semua kebenaran adalah satu, semua realitas adalah satu,” begitu kata Bunda Theresa.

Dan, ‘le desir d’etre ensemble, memuncak pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945 dan penetapan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar negara. Peristiwa ini merupakan momentum yang paling penting dan bersejarah karena merupakan titik balik dari negara yang terjajah menjadi negara yang merdeka. Inilah wujud dari komitmen kebangsaan. Bangsa dan Negara Indonesia, LAHIR!!!

Kehendak untuk bersatu itu, telah mempertemukan nilai-nilai, kepentingan, dan cita-cita bersama serta menyingkirkan kepentingan-kepentingan bernuansa kesukuan, keetnisan, keagamaan, kebudayaan, kedaerahan, dan sebagainya yang memecah-belah. Semua menyatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan UUD 1945 sebagai dasar negara dan Pancasila sebagai ideologi negara.



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x