Kompas TV kolom opini

Guru di Puncak Golgotha

Kompas.tv - 10 April 2020, 13:36 WIB
guru-di-puncak-golgotha
Ilustrasi salib (Sumber: Pixabay)

Oleh Trias Kuncahyono

Guru yang sangat baik itu, sudah tak berdaya. Wajahnya bersimbah darah. Begitu banyak pukulan dan gebukan yang mendarat di badan. Bahkan juga wajah-Nya. Bukan hanya pukulan, tetapi juga tendangan dan ludahan, serta caci-maki, hinaan, dan ejekan.

Padahal, guru kebenaran yang  sangat kharismatik itu, tidak pernah sekalipun membuat orang lain menderita. Namun, sekarang menderita. 

Guru yang juga tukang kayu itu tidak pernah melakukan kekerasan; juga tidak pernah menganjurkan  para muridnya untuk melakukan kekerasan. Ia orang bijak. Bukan penghasut. 

Ia juga bukanlah seorang propagandis. Bukan! Ia tidak mengumbar kata-kata tak berisi, yang hanya manis di telinga. Ia memperjuangkan kehidupan yang lebih baik.

Guru itu sangat yakin, yang mengangkat pedang akan mati karena pedang pula. Karena itu, ia menasihati murid-muridnya jangan melawan kejahatan dengan kejahatan!

Cintailah musuh-musuhmu seperti kamu mencintai dirimu sendiri,” kata Guru suatu ketika. "Si vis amari, ama.., Jika engkau ingin dicintai, maka cintailah…” begitu kata Guru berkali-kali.

Tetapi, ketika Ia menderita, Ia kesendirian. Orang-orang yang dicintainya, malah meninggalkannya. Namun, bagi Guru, kesendirian bukan berarti tak ada cinta. Dalam kesendirian justru cinta menyempurnakannya. 

Kata Guru, "Aku mencintai, karena itulah aku ada.” Hanya cintalah yang dapat membawa setiap individu menuju kesempurnaan hidup sebagai individu. Cinta memungkinkan manusia semakin bersatu dengan yang lain tanpa kehilangan keunikan masing-masing. Karena itu,  “Marilah kita juga memberi cinta," katanya.  

Cinta hanya sepotong kata; ibarat air yang bisa menguap karena kepanasan; ibarat mega-mega putih di langit biru yang bisa hancur berantakan berubah bentuk disapu angin; ibarat mendung hitam yang berubah menjadi hujan dan turun ke Bumi yang lalu menelannya atau masuk ke sungai mengalir ke laut. 

Tetapi, sepotong kata itu, cinta, oleh Guru diberi makna. Dan, diwujudkan sehabis-habisnya, bahkan hidupnya pun direlakan demi cinta.

Dan karena itu, Guru menawarkan jalan cinta. Ia adalah inisiator cinta. Guru lebih dulu mencintai para muridnya, dan siapa pun yang mendambakan kehidupan damai, yang menjunjung nilai-nilai persaudaraan, yang peduli kepada sesama, yang tidak menutup mata dan hati bagi sesama meskipun berbeda dalam segala hal.  

Memang, meskipun mengajarkan kelemah-lembutan dan rasa hormat, namun kadang-kadang kata-katanya keras dan bahkan provokatif, terutama terhadap para pemegang kuasa yang menyeleweng, yang mementingkan diri sendiri, mementingkan keluarga, kelompoknya, dan juga yang korup materi dan menyalahgunakan kekuasaan.

Guru juga mengecam para pemuka agama yang munafik, yang menganggap diri paling suci, yang sok saleh, dan gampang menuding orang lain sebagai orang berdosa, dan kafir. Para pemimpin agama yang memamerkan ibadahnya tetapi tidak mampu mencintai orang lain, melainkan membenci sesama yang tidak segolongan, disebut sebagai pembohong besar. 



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.