Kompas TV kolom opini

Myanmar, Demokrasi di Ujung Laras

Kompas.tv - 16 November 2022, 21:41 WIB
myanmar-demokrasi-di-ujung-laras
Bangku yang disediakan untuk negara Myanmar tidak diisi oleh perwakilan negaranya saat KTT ASEAN 2022 di Hotel Sokha, Phnom Penh, Kamboja, Jumat (11/11/2022). Dalam KTT ASEAN 2022 di Phnom Penh, Kamboja ini diantaranya membahas isu-isu utama yakni krisis Myanmar. (Sumber: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Oleh: Trias Kuncahyono

BEBERAPA tahun lalu, sahabat saya, seorang pastor Katolik (Romo Wardi Saputra SJ) yang bertugas di Myanmar, dalam suatu percakapan di telepon mengatakan, "Kita ngobrol pakai bahasa Jawa saja, ya Mas, ...biar tidak mudah dipahami. Soalnya, telepon ini disadap. Kalau bahasa Indonesia aparat tahu."

Lalu kami pun mengobrol menggunakan bahasa Jawa. Banyak hal yang diceritakan Romo tentang situasi di Myanmar, waktu itu.

Lima tahun pertama, dia hidup tanpa koran dan sumber-sumber informasi lainnya, tanpa telepon, dan tanpa internet. Semua disensor. Semua diawasi. Semua dicurigai.

Kata Romo, "Ke mana pun saya pergi, pasti ada yang menguntitnya."

Romo Wardi bertugas di Myanmar selama 11,5 tahun, yakni antara tahun 1998 - 2010. Kata, Romo, "Saya lumayan kenyang hidup di bawah junta militer yang sangat keras dan brutal."

Membunuh "Vox Populi"

Militer, memang sangat berkuasa di Myanmar hingga kini. Terakhir mereka merebut kekuasaan lagi dari pemerintahan hasil pemilu, pada 1 Februari 2021.

Ini kudeta militer keempat sepanjang sejarah negeri berpenduduk 54 juta jiwa, yang merdeka tahun 1948 itu. Ya, memang masih kalah dengan Thailand, yang sudah mengalami 12 kali kudeta sejak kudeta pertama tahun 1932. Tetapi, yang terjadi di Myanmar sungguh memperlihatkan kebrutalan rezim junta militer.

Hari Senin pagi, 1 Februari 2021, ketika para anggota parlemen hasil Pemilu 8 November 2020 (pemilu ketiga berdasarkan Konstitusi 2008), akan diambil sumpahnya di gedung parlemen, tentara bersenjata lengkap, diperkuat tank turun ke jalan-jalan serta membangun barikade-barikade. Mereka melancarkan kudeta.

Kudeta dilancarkan dengan dalih: pemilu curang, ada rekayasa, dan manipulatif. Pemilu dimenangi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) partai pimpinan Aung San Suu Kyi, yang oleh militer dianggap sebagai musuh utamanya.

Tindakan militer itu sebagai bentuk penolakan mereka terhadap pilihan rakyat; bukan sekadar penolakan terhadap kemenangan NLD. Mereka tidak mau mengakui vox populi, suara rakyat, pendapat mayoritas rakyat.

Dalam kacamata militer, mereka yang mendapatkan suara rakyat prodemokrasi, dukungan rakyat prokebebasan, harus disingkirkan karena mengancam dominasi kekuasaan militer.

Militer tidak hanya merebut kekuasaan dari yang berhak, yang mendapat otoritas dan kepercayaan rakyat, tetapi bahkan menangkap serta menahan para pemimpin partai yang dicap sebagai musuh militer: Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, politisi top lainnya, pemimpin, penulis, dan aktivis.

Pemimpin kudeta, Jenderal Ming Aung Hlaing, lalu memaklumkan negara dalam keadaan darurat. Dia kemudian menyatakan dirinya sebagai yang berkuasa. Junta lalu mendirikan pemerintahan baru yang disebut Dewan Administratif Negara (State Administrative Council/SAC).

Tindakan semacam ini sebenarnya mengulang yang mereka lakukan tahun 1990, saat militer merebut kekuasaan dan memenjarakan Suu Kyi, pemimpin NLD, partai yang pada tahun 2015 mendirikan pemerintahan sipil pertama setelah 50 tahun.

Maka kudeta militer itu menjadi pukulan sangat serius atau bahkan upaya pembunuhan yang sangat serius terhadap reformasi politik, proses demokratisasi di Myanmar. Apalagi kudeta dilakukan saat para anggota baru parlemen hasil pemilu demokratis siap-siap diambil sumpahnya.

Seorang biksu Buddha mengacungkan tinjunya saat menggelar aksi selama demonstrasi anti-junta militer Myanmar pada Selasa (1/2/2022) di Mandalay, Myanmar. Utusan khusus PBB yang baru untuk Myanmar mengatakan, kekerasan telah meningkat sejak militer mengambil alih kekuasaan setahun lalu dan memicu gerakan perlawanan di negara itu.

Dominasi Militer

Sejarah Myanmar menceritakan, kata David I Steinberg (2021), bahwa militer mendominasi panggung kekuasaan hampir sepanjang sejarah sejak negara itu merdeka tahun 1948. Kudeta keempat adalah usaha terakhir militer untuk mengendalikan aspek-aspek masyarakat yang dianggap penting untuk kepentingan militer sendiri.

Kudeta militer pertama dilakukan pada 2 Maret 1962, di bawah pimpinan Kepala Staf Angkatan Bersenjata Burma (Myanmar) Jenderal U Ne Win. Ia menggulingkan PM U Nu.

Setelah kudeta Ne Win berkuasa hingga 26 tahun kemudian. Kudeta 2021 dipimpin Jeneral Min Aung Hlaing, panglima tertinggi Tatmadaw atau militer.

Sebenarnya kudeta pertama militer terjadi tahun 1958, yang disebut "Kudeta Konstitusional". The Irrawaddy, sembilan bulan lalu menulis, saat "Kudeta Konstitusional" militer mengambilalih kekuasaan dengan persetujuan paksa dari pemerintah sipil yang menghadapi perang saudara di dalam partai yang berkuasa.

Militer berkuasa selama 18 bulan. Lalu mengizinkan pemilu bebas. Pemilu dimenangi partai U Nu yakni Anti-Fascist People’s Freedom League (AFPFL/Liga Kebebasan Rakyat Anti-Fasis). U Nu memerintah selama sekitar dua tahun hingga kudeta tahun 1962. Ini kudeta kedua. Kudeta ketiga terjadi pada tahun 1988.

Alasan kudeta, sangat klasik: untuk memulihkan situasi nasional yang morat-marit, memulihkan keamanan nasional, dan menjaga persatuan nasional. Bisa dikatakan, militer memegang kekuasaan sejak tahun 1962 - kecuali antara 2011- 2021 - termasuk interval pemerintahan satu partai yang didominasi militer, quasi-sipil, dari 1974 - 1988 ("Mynanmar Study Group", Februari 2022, US Institute of Peace).

Kata Michael W Charney selama enam dasawarsa berkuasa ada sejumlah motivasi yang mendorong militer untuk tetap berkuasa. Yang paling utama adalah "majoritarian nasionalism" tentara yang didominasi oleh kelompok etnik Bamar, Buddhis, dan berbahasa Burma.

Mereka khawatir, bila menganut demokrasi terbuka, maka kaum etnik minoritas yang jumlahnya sekitar 30 persen atau lebih sedikit, mungkin akan merebut kekuasaan lebih besar.

Tetapi, motivasi yang paling tahan lama adalah menjaga kendali - atau setidaknya mempertahankan hak veto - atas pemerintah sipil. Itu adalah kebutuhan permanen militer. Eselon atas militer dan keluarga mereka menggunakan kendali mereka untuk memperkaya diri mereka sendiri, sebagian besar dengan mengorbankan elite politik dan sosial yang sudah ada.



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x