Kompas TV kolom opini

Myanmar, Noda Hitam ASEAN

Kompas.tv - 14 November 2022, 06:20 WIB
myanmar-noda-hitam-asean
KTT ASEAN 2022 di Phnom Penh, Kamboja tersebut membahas isu-isu utama yakni krisis Myanmar dan penerimaan Timor Leste menjadi anggota ASEAN ke-11. (Sumber: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/YU)

Oleh: Trias Kuncahyono, Jurnalis Harian Kompas

ASEAN terbukti tidak efektif dalam menanggapi tindakan brutal militer Myanmar terhadap rakyat negeri itu, sejak kudeta pada 1 Februari 2021. Begitu pendapat Joshua Kurlantzick (Council on Foreign Relations, 29 Agustus 2022).

Pendapat Joshua Kurlantzick tersebut bisa dikatakan keras terhadap organisasi regional (ASEAN) yang oleh Khisore Muhbubani dan Jeffry Sng, disebut sebagai mukjizat. Bahkan keduanya menyebut ASEAN, katalis perdamaian, seperti judul bukunya The ASEAN Miracle: A Catalyst for Peace (2017).

Mukjizat itu memang terjadi. ASEAN telah menyatukan 10 negara yang berbeda-beda dalam banyak hal, termasuk agama. Ada banyak agama yang dianut penduduk di negara-negara ASEAN, tetapi tetap bisa hidup rukun dalam harmoni.

Tetapi, seperti kata Joshua Kurlantzick, ASEAN terbukti tidak efektif dalam menanggapi tindakan brutal militer Myanmar. Memang, karena tindakan brutal rezim militer yang berkuasa sejak merebut kekuasaan kembali pada 1 Februari 2021, Myanmar bisa dikatakan "wajah hitam" ASEAN.

Maka, saat di Phnom Phen, Kamboja digelar KTT ke-40 ASEAN saat ini, kiranya pas untuk menyodorkan masalah Myanmar yang telah menjadi beban berat bagi ASEAN.

Tidak mudah, memang, bagi ASEAN untuk mengambil tindakan, seperti sanksi keras terhadap salah satu anggotanya itu. Sebab, di sana (Myanmar) ada kekuatan besar yang memiliki kepentingan ekonomi, militer, dan geostrategis. Tetapi, apakah ASEAN tetap akan diam saja, diperlakukan "tidak pantas" oleh Myanmar?

Ada banyak hal yang membuat rumit dan pelik penyelesaian masalah Myanmar ini. Baik itu faktor internal maupun eksternal ASEAN.

Tiga Kubu

Saat ini, kata Scot Marciel (United States Institute of Peace, 22 Agustus 2022), komunitas internasional berkait dengan Myanmar dapat dibagi menjadi tiga kelompok.

Pertama, kelompok tak tahu malu, yakni Rusia, China, dan India. Mereka ini disebut kelompok tak tahu malu, karena mendukung junta militer yang berkuasa dengan mengkudeta pemerintahan sah hasil pemilu demokratis. Junta militer Myanmar tidak hanya kudeta tetapi juga sangat brutal terhadap rakyatnya.

Meski demikian, ketiga negara itu mendukung junta militer. Rusia dan China memasok kebutuhan senjata Myanmar. Memang, kata Wai Moe (Fulcrum,12 Oktober 2022), motivasi utama Myanmar menjalin hubungan dengan mereka adalah mendapatkan senjata guna menghadapi (istilah rezim) kelompok bersenjata.

Tatmadaw (militer Myanmar) berpaling ke Rusia untuk modernisasi dan pelatihan militer. Kebijakan ini diambil sebelum Min Aung Hlaing menjadi Panglima Tertinggi tahun 2011 (dan kemudian melakukan kudeta Februari 2021). Ketika itu, Tatmadaw juga meminta bantuan Rusia dalam memodernisasi sistem pertahanan udara Myanmar.

Kata Sebastian Strangio (The Diplomat, 7 September 2022), hubungan antara Rusia dan Myanmar sudah baik bahkan sebelum kudeta Februari 2021. Pemerintah Rusia memberikan dukungan tanpa henti pada junta militer yang berkuasa untuk menghancurkan kelompok perlawanan bersenjata di Myanmar.

Tentang hubungan eratnya militer Myanmar dan Rusia itu juga dijelaskan Narayanan Ganesan, Hiroshima City University (5 November 2022, East Asia Forum). Kata Narayanan, hubungan antara Myanmar dan Rusia berfokus pada militer. Myanmar telah lama mengandalkan Rusia untuk pelatihan para perwira militernya, terutama di angkatan udara.

Sementara China menjadi sekutu dekat bagi Myanmar. Ini terbukti pada saat Myanmar menjadi sasaran sanksi internasional, dijatuhi sanksi secara berkala dan pada tingkat yang berbeda-beda sejak tahun 1962. Sanksi yang lebih luas dan embargo senjata yang dijatuhkan Barat pada Myanmar, setelah kudeta 1988, mendorong Myanmar makin dekat dengan China.

Dengan India, Myanmar berbagi perbatasan sepanjang 1.600 km dan lingkungan maritim di Teluk Bengala. Kedua negara menyepakati perjanjian kerja sama intelijen untuk mengatasi pemberontak India yang beroperasi di sepanjang perbatasan. (DW, 2/8/2022)

New Delhi, memang prihatin terhadap eksekusi mati terhadap empat aktivis politik, 25 Juli 2022, yang dilakukan junta militer, yang menurut Human Rights Watch jauh dari standar internasional.

Tetapi, New Delhi memiliki kepentingan ekonomi maka tetap menjaga hubungan baik dengan militer Myanmar karena negara tersebut memiliki sumber daya alam, termasuk gas alam, minyak bumi, dan logam tanah jarang (rare earth metals) yang berguna untuk industri teknologi tinggi India. Pendekatan India terhadap situasi di Myanmar juga terkait dengan persaingannya dengan China.

Sikap ASEAN

Kubu kedua adalah ASEAN. Harus diakui bahwa ASEAN pun tidak satu kata dalam menangani masalah Myanmar. Bisa dikatakan ada dua kelompok dalam ASEAN: kelompok pertama Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Brunei. Kelompok kedua, Thailand, Laos, Vietnam, dan Kamboja.

Sikap kelompok pertama terhadap Myanmar sama. Mereka mengritik kudeta militer Februari 2021, kebrutalan junta militer, juga menyerukan pembebasan tahanan politik. Bahkan, keempat negara mengusulkan agar pemimpin junta Jenderal Min Aung Hlaing diblokir dari KTT para pemimpin. Meskipun, belum sampai pada condemn, mengutuk tindakan junta militer.



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x