Kompas TV nasional peristiwa

Tragedi Kanjuruhan: Kesaksian Lima Penyintas, Ada yang Terinjak-Injak dan Pasrah di Gate 13

Kompas.tv - 7 Oktober 2022, 13:59 WIB
tragedi-kanjuruhan-kesaksian-lima-penyintas-ada-yang-terinjak-injak-dan-pasrah-di-gate-13
Para suporter sepak bola menggotong seorang pria yang terluka dalam kericuhan di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu (1/10/2022) malam. Kericuhan terjadi usai pertandingan Arema FC vs Persebaya yang kemudian berujung tragedi yang menewaskan ratusan orang. (Sumber: AP Photo/Yudha Prabowo)
Penulis : Nadia Intan Fajarlie | Editor : Edy A. Putra

YOGYAKARTA, KOMPAS.TV - Tragedi memilukan yang merenggut setidaknya 131 nyawa, mulai dari balita hingga orang dewasa, terjadi selepas wasit meniupkan peluit panjang tanda pertandingan sepak bola liga 1 2022-2023 Arema FC vs Persebaya Surabaya berakhir, pada Sabtu 1 Oktober 2022 malam di Stadion Kanjuruhan.

Para saksi menggambarkan bagaimana kondisi Stadion Kanjuruhan yang sebagian besar diisi oleh Aremania, penggemar klub Arema FC, saat kericuhan terjadi.

Berikut kesaksian beberapa penonton yang berhasil dirangkum KOMPAS.TV dari berbagai sumber.

Doni, penyintas 

Duduk di tribune 14 bersama keluarga dan tetangga.

Kakak dan iparnya meninggal dunia dan meninggalkan satu anak berusia 11 tahun.

Saya ada di tempat kejadian, sama mas (Muhammad Yulianton), mbak ipar (Devi Ratna), dan keponakan. Saya juga membawa anak umur sepuluh tahun, tetangga saya juga membawa anak perempuan.

Saya sudah datang tiga jam sebelum (laga Arema FC vs Persebaya) main. Cari tempat yang enak untuk menonton sepak bola. Saya menyenangkan anak menonton sepak bola, karena sepak bola lagi viral. Saya satu tribune bersama keluarga dan tetangga. 

Selesai pertandingan, kami lihat tetangga turun, kok rame. Wis (sudah) nanti aja. Kami tunggu 15 menit, saya lihat yang di lapangan ricuh, ditembaki (gas air mata -red). Mereka lari sampai kembali ke tribune masing-masing.

Waktu tembakan air mata, pikiran saya hanya anak kecil. Saya sayangkan itu saja. Kok sampai tribun ditembak gas air mata. Ada anak kecil, ada perempuan, dan ibu-ibu.

Doni, penyintas tragedi Kanjuruhan, menyayangkan penggunakan gas air mata oleh aparat kepolisian. (Sumber: Tangkapan layar KOMPAS TV)

Nggak lama, tribune saya, tribune 14, (kami) diam hanya lihat, ditembak kurang lebih dua kali gas air mata. Semburan (gas) kan otomatis? Kami cari pintu keluar itu berdesakan. Sudah berdesakan, panas kena gas itu. Kan turun, tertekan, kalau fisik nggak kuat ya jatuh. 

Kalau turun (tribune) kalau lemah apalagi sudah kena gas air mata. Sampai yang di dalam turun, ada pagar besi itu rubuh, pagar sebelum pintu keluar itu sampai rubuh. Saya lihat rubuh ketika saya sudah mau ke pintu keluar.

Saya bisa keluar dahulu bersama anak saya. Teman saya juga keluar. Saya mencari kakak saya, kurang lebih seperempat jam itu kok tidak keluar-keluar.

Tiba-tiba saya dijawil (disentuh) anak mas saya dari belakang. Saya tanya, "Ayah sama mamamu mana?". Dia bilang bapak ibunya masih di dalam. Saya kaget. Saya lari mau masuk kan nggak bisa. 

Setelah itu ada yang nggotong perempuan, saya lihat celananya seperti mbak ipar saya. Ternyata benar. Tapi saya nggak bisa memastikan masih hidup atau tidak. Saya fokus ketemu dulu. 

Setelah mbak ketemu, saya lari ke pintu lagi. Saya lihat mas saya digotong, lalu dibaringkan di samping pintu keluar. Saya kipasi aja mereka. Kemudian saya lari ke pintu perkantorannya. 

Tim medis waktu itu nggak ada saya kira, hanya polisi yang berjaga di pintu keluar. Kami lapor ke polisi cari medis, waktu itu pada sibuk semua.

Saya masuk mau masuk pintu VIP, ada yg teriak "Medis dibawa masuk sini".

Saya kembali, membawa ke pintu 14, saya gotong ke sana. Disuruh ke ruangan medis, saya posisi nggak kuat, capek, lemas, saya keluar cari anak saya.

Waktu saya ke sana ada polisi dan tentara juga, saya minta tolong untuk memindahkan jenazah mas dan mbak saya karena saya nggak kuat.

Setelah mas dan mbak ipar saya digotong ke ruang medis, teman saya yang menemani mereka. Lalu saya cari anak saya dan keponakan.

Anak-anak akhirnya dibawa pulang teman saya. Saya ngurus mas saya, saya masuk ke ruang medis, posisi itu sudah di musala kalau nggak salah. Teman saya mengabarkan kakak saya sudah meninggal dua-duanya.

Tenda keamanan ada. Kalau medis, saya nggak lihat. Mungkin sama-sama sibuk, jadi saya nggak nemu. Kalau keamanan ada, memang yang membantu ada polisi yang memberi air, melihat jenazah mas dan mbak itu ngasih minyak itu ada.

Waktu itu nunggu satu jam kurang lebih, saya di dalam itu lihat banyak korban juga yang meninggal. Banyak saudara korban yang datang.

Terus ada tentara bilang, "Yang sudah ada data saudara atau teman, ikut ke truknya tentara," katanya mau dibawa ke RSUD, mau divisum.

Karena rumah sakitnya penuh, jenazah-jenazah ditaruh di depan parkiran gitu jejer-jejer (berjejeran). Setelah ditinggal sama pak tentara, terus dari pihak rumah sakit keluar mendata nama, alamat, umur. Langsung diberi tempelan di tangan jenazah, itu saya tunggu sampai tiga jam nggak ada kepastian.

Akhirnya saya telepon ke keluarga dan tetangga saya untuk membawa ambulans. Saya dari awal sudah pesan nggak datang-datang.

Akhirnya dari warga mungkin antusias, langsung datang ambulans. Saya sampai ke rumah subuh, jenazah dua-duanya satu ambulans. 

Anaknya Mas Anton masih trauma, saya tanya "Tahu bapak ibu jatuh diinjak-injak?" Dia manggut-manggut (mengangguk), tahu. Udah, saya nggak tanya lagi.

Baca Juga: Pasutri Tewas dalam Kericuhan Stadion Kanjuruhan, Anak Trauma Melihat Orang Tuanya Terinjak-Injak

Evi Elmiati, penyintas

Duduk di tribune 13 bersama anak dan suami.

Suami dan anaknya yang masih berusia 3,5 tahun meninggal dunia.

Saya dari rumah sama suami dan anak. Sudah tiga kali ini diajak nonton sepak bola. Waktu itu kejadiannya, suporter Arema banyak yang turun ke lapangan dan ada tembakan gas air mata. 

Suami saya menggendong anak saya ngajak pulang, mau keluar tapi pintu dari tribune 13 ditahan, keluarnya disuruh tertib, satu-satu.

Sedangkan yang di atas (di tribune) yang kena gas air mata itu kan panik, mau turun menyelamatkan diri masing-masing, jadi kedorong-dorong suami saya.

Pertamanya saya tahu posisinya, waktu didorong-dorong itu saya nggak tahu posisi suami saya itu selamat, udah keluar, atau jatuh saya sudah nggak tahu. 

Muhammad Virdi Prayoga, bersama ibunya, Evi Elmiati, dan ayahnya, Rudi Haryanto, saat menonton laga Arema FC vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022). Virdi yang berusia 3,5 tahun menjadi salah satu korban anak-anak dari tragedi Kanjuruhan. (Sumber: Elmiati Via Washington Post)

Di belakang saya sangat banyak orang berdesak-desakan, banyak yang udah kayak sekarat, nggak kuat. Kami mau keluar lewat tribune 13 sudah berebutan, pintu hanya muat untuk dua orang. Tribune 13 yang kena gas air mata.

Waktu itu saya sangat susah bernapas, karena gas air mata dan berdesak-desakan. Saya sempat dengar dan sempat lihat juga gas air mata.

Pokoknya langsung ditembakkan ke arah tribune. Mulai dari Curva Sud sampai selatan. Waktu itu posisi hujan, jadi udara itu muter di dalam.

Seandainya nggak ada yang nolong saya, mungkin saya juga sudah meninggal di situ. Saya selamat soalnya ada yang nolong saya cewek, dikira saya itu saudaranya.

Saya diajak ke tribune lagi karena di atas sudah agak aman. Saya sendiri, suami dan anak saya sudah nggak tahu, terpisah soalnya kedorong-dorong suporter dari atas.

Kenapa yang ricuh di lapangan, tapi kok yang kena gas air mata yang di tribune juga ikut ditembak? Karena ada anak kecil. Saya dirawat saudara saya. Saya diminta istirahat dan saudara saya itu pergi cari suami dan anak saya.

Saya minta diusut terus saja kejadian Kanjuruhan itu pak, soalnya kan banyak korban.

Anak Evi, Muh. Virdi Prayoga, ditemukan sudah tak bernyawa di kamar jenazah RSUD Kanjuruhan. Sedangkan suaminya, Rudi Hariyanto, ditemukan di kamar jenazah RS Wava.

Baca Juga: Ini Cerita Evi, Anak & Suaminya Meninggal dalam Tragedi Kanjuruhan: Pintu Ditahan, Suruh Tertib

Rifqi Aziz Azhari



Sumber : Kompas TV, Kompas.com

BERITA LAINNYA



Close Ads x