Kompas TV regional sosial

Memandang Kehidupan Desa ala Eko Prawoto

Kompas.tv - 22 Agustus 2022, 09:24 WIB
memandang-kehidupan-desa-ala-eko-prawoto
Suasana desa kerap menjadi inspirasi bagi banyak orang. (Sumber: Freepik/tawatchai07)
Penulis : Ristiana D Putri | Editor : Iman Firdaus

JAKARTA, KOMPAS.TV - Desa adalah tempat yang kerap menjadi pelarian bagi masyarakat urban. Saat jenuh dengan kehidupan di kota, mereka pergi ke desa untuk melepas penat. Hal ini disebabkan adanya perbedaan karakteristik masyarakat desa dan kota terkait cara hidup dan sistem sosialnya. 

Dari segi teknologi, masyarakat desa sering dianggap lebih kuno daripada orang kota. Meskipun begitu, pedesaan menawarkan nuansa kedamaian yang bahkan tak bisa dihadirkan oleh teknologi sekali pun.

Hal ini juga dirasakan oleh Eko Prawoto, seorang arsitek yang selalu menonjolkan lokalitas Nusantara. Ia membagikan pandangannya terkait kehidupan di desa dalam siniar Beginu episode “Tinggal di Desa, Belajar Selaras dengan Alam” di Spotify.

Kesinambungan Desa, Alam, dan Penghuninya 

Setelah berkutat dengan kerasnya kehidupan kota, Eko memutuskan tinggal di tepi Kota Yogyakarta untuk berselaras dengan alam. Eko mengubah hidupnya agar sejalan dengan putaran nadi pedesaan. Ia memahami desa sebagai kesinambungan antara alam dan penghuninya.

Menurutnya, desa memberikan penghuninya kesehatan yang tak bisa dimiliki masyarakat kota. Ia pun menegaskan, “Desa lebih rileks dan fisiknya lebih sehat. Semua anjuran kesehatan sudah dilakukan.”

Baca Juga: Tanggapan Komnas HAM soal Dianggap Banyak Bicara dalam Kasus Brigadir J

Hal menarik lainnya yang membuat Eko berbinar adalah kesederhanaan desa. Ketika memutuskan tinggal di desa, artinya kita harus siap dengan segala konsekuensinya. Artinya, harus mampu mandiri dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar.

Eko mengungkapkan bahwa melakukan hal itu tidaklah sulit. Ia justru mulai sadar dari kegiatan-kegiatan kecil, seperti menyapu. “Selain menyapu, kita mengenal lingkungan dan melihat alamnya,” pungkasnya.

Pria lulusan Universitas Gadjah Mada tahun 1977 itu menambahkan, “Seperti kalo daun kering, saya mencoba gak nganggep itu sampah sehingga menggeser pemaknaan itu sebagai art material."



Sumber : Kompas TV


BERITA LAINNYA



Close Ads x