Kompas TV nasional hukum

Pakar Peradi Sebut Terduga Pelaku Obstraction of Justice Harus Ditahan Proses Pidana

Kompas.tv - 17 Agustus 2022, 21:28 WIB
pakar-peradi-sebut-terduga-pelaku-obstraction-of-justice-harus-ditahan-proses-pidana
Para terduga pelaku obstraction of justice pada kasus penembakan Brigadir J atau Nofriansah Yosua Hutabarat tidak cukup ditempatkan secara khusus tetapi harus ditahan. (Sumber: Tangkapan layar Kompas TV)
Penulis : Kurniawan Eka Mulyana | Editor : Gading Persada

JAKARTA, KOMPAS.TV – Para terduga pelaku obstraction of justice pada kasus penembakan Brigadir J atau Nofriansah Yosua Hutabarat tidak cukup ditempatkan secara khusus tetapi harus ditahan dalam proses pidana.

Dewan Pakar Peradi, Usman Hamid, menjelaskan, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur tentang obstraction of justice dan tanggung jawab yang lebih besar penegak hukum berkaitan dengan hal itu.

“Misalnya, kalau kita baca Pasal 233 tentang Obstraction of Justice atau Pasal 52 KUHP yang memberi tanggung jawab lebih besar kepada penegak hukum termasuk kepolisian, untuk tidak merusak bukti atau menghilangkan bukti dengan cara yang koruptif atau dengan cara apa pun, pengaruh, komunikasi, surat dan sebagainya,” jelasnya dalam dialog Sapa Indonesia Malam di, Kompas TV, Rabu (17/8/2022).

“Kalau mereka misalnya terlibat di dalam tindakan obstraction of justice yang melanggar Pasal 233 KUHP dan Pasal 52 KUHP, maka tidak cukup ditempatkan secara khusus, mereka harus ditahan. Ditahan dalam proses pidana.”

Baca Juga: Dewan Pakar Peradi: Satgasus Merusak Sistem Diskresi Polri

Menurutnya, saat ini masyarakat sedang menunggu, apakah pihak kepolisian berani mengambil tindakan proses hukum pidana, menahan atau bahkan menetapkan mereka sebagai tersangka.

Dalam dialog tersebut, Usman juga menyebut tentang adanya puluhan personel kepolisian yang diperiksa karena pelanggaran kode etik.

“Pertanyaannya adalah, apakah kalau kita mau menghindari friksi internal, maka mereka tidak diperiksa? Itu susah. Jadi harus diperiksa.”

“Harus transparan, dan buktinya juga harus bisa dipertanggungjawabkan,” tambahnya.

Bahkan, lanjut dia, sebetulnya pada kasus ini bukan hanya pelanggaran kode etik, tetapi juga merupakan pelanggaran hukum pidana.

“Menghilangkan bukti, merusak bukti, atau menghancurkan bukti misalnya.”

“Jadi tindakan-tindakan yang selama ini dilakukan internal kepolisian, menurut saya tidak cukup hanya dengan pemeriksaan internalkode etik profesi atau misalnya penempatan khusus,” tuturnya.



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x