Kompas TV nasional kriminal

Tanggapi Hasil Autopsi Ulang Brigadir J, Pakar Kriminologi UI: Penyidik Jangan Pakai Cerita Lama

Kompas.tv - 26 Juli 2022, 20:22 WIB
tanggapi-hasil-autopsi-ulang-brigadir-j-pakar-kriminologi-ui-penyidik-jangan-pakai-cerita-lama
Guru Besar Ilmu Kriminologi Universitas Indonesia Profesor Adrianus Meliala dukung penyidik bongkar kasus kematian Brigadir J berdasarkan temuan forensik terbaru, Selasa (26/7/2022). (Sumber: Tangkapan layar KOMPAS TV)
Penulis : Nadia Intan Fajarlie | Editor : Purwanto

JAKARTA, KOMPAS.TV - Guru Besar Ilmu Kriminologi Universitas Indonesia Profesor Adrianus Meliala mengingatkan para penyidik kasus polisi tembak polisi yang menewaskan Brigadir Yoshua Hutabarat atau Brigadir J untuk bergerak berdasarkan kondisi di tempat kejadian perkara (TKP) dan temuan ilmiah.

"Saya selalu mengatakan, berangkatlah dari TKP, jangan di luar itu, kalau di luar itu kerja intel namanya. Berangkat lah dari TKP, mulai dari memeriksa posisi jenazah, mulai dulu melihat percikan darah, terus begitu, dan setiap ada hal menarik, segera periksa," terang Prof Adrianus di Sapa Indonesia Malam, Selasa (26/7/2022).

Ia mengaku melihat tim penyidik yang kini tengah bekerja masih mengembangkan cerita awal yang disampaikan Divisi Humas Polri. 

Padahal, menurut dia, kronologi yang menerangkan bahwa Brigadir J terlibat baku tembak dengan Bharada E setelah teriakan istri Kadiv Propam nonaktif Irjen Ferdy Sambo itu banyak ditolak masyarakat dan memunculkan banyak kejanggalan.

Baca Juga: Mantan Kadiv Humas Polri Sebut Akurasi Scientific Crime Investigation 99 Persen, Tak Bisa Dibohongi

"Tadi saya sempat melihat ketika ada rekonstruksi di auditorium Mabes Polda Metro Jaya. Ada yang pura-pura nembak sana-sini, dari atas. Itu kan artinya masih berangkat dari cerita lama, nah itu yang ditolak (publik -red) sebetulnya dan banyak sekali kejanggalan," ujarnya menjelaskan.

Menurut dia, temuan-temuan forensik mestinya dirangkai oleh penyidik untuk menemukan hubungan antarfakta.

"Dari temuan-temuan forensik yang sudah sangat scientific (ilmiah -red) itu, maka tugas penyidik lah untuk merangkai, meramu, dan merekonstruksi hubungan di antaranya," tegas Prof Adrianus.

Penyidik, kata dia, bertugas merancang temuan-temuan berdasarkan proses investigasi kriminal ilmiah atau scientific crime investigation itu secara masuk akal agar tidak ada keraguan sama sekali terkait kronologi peristiwa.

"Justru kalau penyidik masih ngotot pakai cara pikir lama, tembak dari atas, tembak-tembakan, lalu ada teriakan, yang mana masih banyak kejanggalannya, menurut saya penyidik sudah membutakan dirinya," kata dia menjelaskan.

Baca Juga: Komnas HAM Duga Jarak Tembak Brigadir J Berbeda, Pakar Kriminologi UI: Penembak Tak Diam di 1 Titik

Ia juga mengajak penyidik untuk menggunakan akal dan hati masing-masing dalam menyusun peristiwa pidana.

"Dengarkanlah hatimu, lihat lah semua bukti, dan pakai imajinasi agar kemudian bisa membayangkan apa yang sebenarnya terjadi. Jangan dengarkan kata-kata orang lain," kata Prof Adrianus.

Selain itu, menurut dia, Divisi Humas Polri mestinya menyampaikan temuan dari bukti-bukti baru kepada publik secara berkesinambungan.

"Nah makannya, Divisi Humas Polri itu bekerja dari hari ke hari, sesuai dengan bukti-bukti baru yang ditemukan," tegas dia.

Baca Juga: Komnas HAM Ungkap 3 Poin Pemeriksaan Ajudan Irjen Ferdy Sambo, Pastikan Waktu Kematian Brigadir J

"Yang terjadi sekarang, Divisi Humas Polri muncul dengan paket cerita yang kemudian ditolak masyarakat, karena memang tidak dipercaya kan?" imbuhnya.

Berdasarkan hasil forensik yang disampaikan kepada Komnas HAM tentang jarak tembak yang berbeda-beda, Adrianus menilai temuan tersebut mestinya digali lebih jauh oleh penyidik.

"Artinya gini, betul kita memang mendasarkan diri pada scientific crime investigation, tetapi itu alat bantu. Tetap yang berkerja itu adalah penyidik," pungkas dia.



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x