Kompas TV nasional hukum

Pasal Penghinaan Presiden Tidak akan Dihapus di RKUHP, Ini Alasan Pemerintah

Kompas.tv - 29 Juni 2022, 17:09 WIB
pasal-penghinaan-presiden-tidak-akan-dihapus-di-rkuhp-ini-alasan-pemerintah
Ilustrasi. Alasan pemerintah tidak menghapus pasal penghinaan presiden dalam draf RKUHP. (Sumber: KompasTV/Ant)
Penulis : Nurul Fitriana | Editor : Deni Muliya

JAKARTA, KOMPAS.TV - Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward OS Hiariej menjelaskan alasan kenapa pemerintah bersikeras untuk tidak menghapus pasal penghinaan presiden dalam draf Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

Ia menjelaskan, pasal penghinaan presiden sudah pernah dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji. Hasilnya, MK menyatakan ditolak.

"Kalau ditolak itu artinya bertentangan atau tidak? Kan berarti tidak bertentangan," kata Eddy di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (28/6/2022).

Kendati demikian, ia mempersilakan kepada sejumlah pihak untuk mengajukan uji materi ke MK bila nanti ada yang tak puas dengan sejumlah pasal dalam RKUHP tersebut. 

"Intinya kita begini, ya, tidak akan mungkin memuaskan semua pihak," ujarnya.


Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa baginya, penghinaan dan kritik adalah hal yang beda. Ia bahkan menyebut seseorang yang tidak bisa membedakan adalah orang yang sesat pikir.

Baca Juga: Wamenkumham: Kami Tidak akan Menghapus Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP

"Itu orang yang sesat berpikir. Dia tidak bisa membedakan antara kritik dan penghinaan. Yang dilarang itu penghinaan, bukan kritik," tuturnya.

Guru besar Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) ini pun meminta agar orang yang menganggap pemerintah antikritik untuk membaca kembali pasalnya.

"Dibaca enggak? Kalau mengkritik tidak boleh dipidana. Kan ada di pasalnya. Jadi apa lagi?"

"Jadi yang mengatakan penghinaan sama dengan kritik itu mereka yang sesat pikir, yang tidak membaca," ujarnya.

Selain itu, dia juga mengatakan bahwa pasal tersebut tak bisa dirujuk ke negara lain.

Menurutnya, penghinaan di Indonesia merupakan mala in se atau perbuatan yang dianggap sebagai sesuatu yang jahat, bukan karena dilarang oleh UU.

Sementara itu, katanya, negara lain meletakkan penghinaan sebagai mala prohibita atau perbuatan yang tergolong kejahatan karena diatur dalam UU.

"Begini, kalau soal penghinaan itu tidak bisa rujukan negara lain ya karena itu pasal spesial. Saya selalu menjelaskan penghinaan di kita dan negara barat itu berbeda. Kita dalam hukum pidana meletakkan penghinaan itu sebagai mala in se, berbeda dengan negara lain, mereka meletakkan penghinaan itu sebagai mala prohibita. Dari segi konsep itu saja sudah berbeda," ujarnya.

Namun, ada tiga hal yang membedakan di antara KUHP masing-masing negara yakni mengenai kejahatan politik, kejahatan terhadap kesusilaan dan pasal mengenai penghinaan. 

Sehingga setiap negara akan berbeda dalam mendefinisikan ketiga hal tersebut dalam KUHP-nya.

"Jangan lupa bahwa dalam RUU KUHP kita, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden adalah delik aduan dan bukan delik biasa, artinya presiden yang akan nanti mengadukan penghinaan tersebut ke pengadilan," ujarnya.

Baca Juga: Demi Hentikan Praktik Penganiayaan, LPSK Minta Norma Penyiksaan Masuk ke RKUHP



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x