Kompas TV kolom opini

Ngobrol dengan Jenderal

Kompas.tv - 2 Juni 2022, 04:35 WIB
ngobrol-dengan-jenderal
Deretan bintang yang di pundaknya jenderal. (Sumber: istimewa)

Trias Kuncahyono, Penulis adalah Jurnalis Harian Kompas

Kesatu
Kemarin, saya menerima pesan singkat lewat WA dari seorang sahabat, yang biasa saya sapa Jenderal. Ia sehari-hari berkutat dengan masalah-masalah intoleransi, radikalisme, dan terorisme.

Hidupnya dipertaruhkan untuk membela dan mempertahankan keutuhan dan persatuan NKRI, mempertahankan Pancasila dan UUD 1945, dengan segala risikonya.

Isi pesan itu pendek. Tetapi membuat saya kaget, terkejut, dan tidak bisa paham mengapa bisa begitu. Pantas, intoleransi juga radikalisme, ekstremisme, dan ujungnya terorisme hidup di negeri ini.

Itu kesimpulan cepat saya, setelah membaca pesan itu. Semoga kesimpulan saya tidak salah.

Begini isi WA itu:
….terkait intoleransi dan radikalisne, hingga sekarang belum dianggap suatu ancaman yang membahayakan negara….

Buru-buru saya bertanya. Siapa yang menganggap bahwa intoleransi dan radikalisme belum merupakan ancaman yang membahayakan negara?

Ah, apa nggak salah tuh anggapan seperti itu. Bukankan apa yang ada di tengah masyarakat sudah cukup bercerita dan menjelaskan hal itu?

Apa nunggu ancaman  membesar dan sulit diberantas? Kalau dibiarkan, memang akan sulit diberantas. Ibarat kata, kriwikan dadi gerojokan, membiarkan saja yang kecil menjadi besar.

Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat peringatan Hari Lahir Pancasila. (Sumber: istimewa)

Kedua
Jenderal, begitu saya lebih suka memanggilnya, bukankah sudah terang-benderang terjadi di tengah masyarakat dan dari berbagai survei yang  hasilnya menunjukkan bahwa sikap intoleran sudah menyusup ke mana-mana.

Bahkan, lewat dunia pendidikan agama. Misalnya,  Buya Syafii tahun 2019 (maaf Jenderal, saya suka dan senang mengutip pernyataan Guru Bangsa kita ini) mengingatkan pendidikan agama jangan hanya memenuhi ranah kognitif atau pengetahuan saja.

Pelajaran agama harus lebih efektif menyentuh moral, etika, dan rasa, tetapi tidak perlu sampai mengubah kurikulum.

“Pelajaran agama lebih efektif, moral, etika, dan rasa. Memang selama ini mungkin kering, otak diisi, tetapi hati dibiarkan telantar,” kata Buya Syafii Maarif, Senin (Kompas.com, 25/3/2019)

Jenderal, ini saya kutipkan hasil survei yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta (2021) soal toleransi.

Kata PPIM,  sejumlah penelitian mengkonfirmasi bahwa sikap keterbukaan dan penghargaan terhadap perbedaan, termasuk terhadap kelompok minoritas dan marjinal, aktor-aktor pendidikan kita masih lemah (PPIM, 2017, 2018; Wahid Institute, 2019).

Di ranah pendidikan tinggi, sejumlah studi menunjukkan merebaknya paham ekstremisme di kalangan Perguruan Tinggi/PT (Setara Institute, 2019); fenomena eksklusivisme dalam buku teks pendidikan agama di kalangan PT Umum (PPIM, 2018); aktivis mahasiswa Muslim memiliki pemahaman keagamaan yang cenderung tertutup (CSRC, 2017); kegiatan keagamaan di lingkungan kampus mendorong tumbuh suburnya pandangan keagamaan yang eksklusif (CISForm, 2018); infiltrasi radikalisme dan ekstremisme di lingkungan kampus melalui masjid-masjid kampus (INFID, 2018); serta 39 persen mahasiswa di 7 PT Negeri terpapar paham radikalisme (BNPT, 2018).

Studi mutakhir PPIM (2021) pada tiga Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (UIN Jakarta, UIN Bandung dan UIN Yogyakarta) menunjukkan nilai empati eksternal dan internal yang tidak stabil di hampir semua kalangan, baik pada mahasiswa, dosen dan tenaga kependidikan. 

Hal ini mengindikasikan masalah serius bagi penerapan moderasi beragama yang sudah dicanangkan dalam RPJMN 2020-2024 – Perpres 18/2020.

Jenderal, hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, menunjukkan sebanyak 24,89 persen mahasiswa memiliki sikap toleransi beragama yang rendah, dan sebanyak 5,27 persen lainnya tergolong memiliki sikap toleransi beragama yang sangat rendah.

Bila digabungkan, sebanyak 30,16 persen mahasiswa Indonesia memiliki sikap toleransi beragama yang rendah atau sangat rendah. Sementara itu, dari sekitar 69,83 persen mahasiswa yang tergolong memiliki sikap toleransi beragama yang tinggi, 20 persen tergolong memiliki toleransi yang sangat tinggi terhadap pemeluk agama lain (Kompas.com, 2/3/2021).

Bukti lain Jenderal, disodorkan oleh Wahid Istitute (2020). Menurut Wahid Institute, tren intoleransi dan radikalisme di Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu.

Kecenderungan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama kontestasi politik, ceramah atau pidato bermuatan ujaran kebencian, serta unggahan bermuatan ujaran kebencian di media sosial (medsos).

Kata Direktur Wahid Institue Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid (Media Indonesia) (20/1/2020) sikap intoleransi di Indonesia, juga cenderung meningkat dari sebelumnya sekitar 46 persen, menjadi 54 persen.

Ada juga kelompok masyarakat yang rawan terpengaruh gerakan radikal. Mereka ini, bisa melakukan gerakan radikal jika diajak atau ada kesempatan, jumlahnya sekitar 11,4 juta jiwa atau 7,1 persen.

Perlu bukti apalagi Jenderal, untuk meyakinkan bahwa ada persoalan besar dalam toleransi, ekstremisme, eksklusivisme, dan radikalisme di negeri ini.

Bukankah semua itu semacam lonceng tanda bahaya, alarm, yang tidak bisa dianggap sepi, Jenderal?

Tetapi, yang perlu dipahami adalah intoleransi tidak akan tumbuh jika tak ada lahan yang menopangnya. Konservatisme adalah lahan di mana ekstremisme, radikalisme, intoleransi, terorisme, dan beragam jenis kekerasan atas nama agama belakangan tumbuh subur.

Flayer Bung Karno (Sumber: istimewa)


Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x
Verifikasi akun KG Media ID
Verifikasi akun KG Media ID

Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.

Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.