Kompas TV nasional hukum

Kasus Pemerkosaan dan Pemaksaan Aborsi Tak Diatur dalam RUU TPKS, Ini Penjelasan Anggota DPR

Kompas.tv - 8 April 2022, 13:28 WIB
kasus-pemerkosaan-dan-pemaksaan-aborsi-tak-diatur-dalam-ruu-tpks-ini-penjelasan-anggota-dpr
Ketua Panja RUU TPKS Willy Aditya (Sumber: dpr.go.id)
Penulis : Nurul Fitriana | Editor : Edy A. Putra

JAKARTA, KOMPAS.TV — Anggota Komisi 1 DPR RI Willy Aditya mengungkap alasan kasus pemerkosaan dan pemaksaan aborsi tidak diatur dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) adalah lantaran sudah termaktub dalam KUHP dan UU Kesehatan.

Willy yang merupakan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS ini juga mengatakan, dua jenis kekerasan seksual tersebut tidak dimasukkan ke dalam naskah usulan DPR dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) pemerintah.

"Kalau kita telisik dari naskah usulan DPR memang tidak masuk, kemudian DIM juga tidak memasukkan, sehingga yang menjadi faktor paling besar dalam pembahasan (RUU TPKS) adalah DIM pemerintah," kata Willy dalam dialog Sapa Indonesia Pagi KOMPAS TV, Jumat (8/4/2022).

Willy juga menjelaskan, tidak dimasukannya pemerkosaan dan pemaksaan aborsi di RUU TPKS sebagai bagian dari sikap bahwa jenis kekerasan yang sudah ada di suatu UU, tidak dapat dimasukan kembali di UU lainnya.

Baca Juga: Puan Maharani: Pengesahan RUU TPKS Hadiah Bagi Perempuan dalam Peringatan Kartini 2022

"Kita tidak memasukkan jenis kekerasan seksual yang sudah ada di undang-undang existing (yang sudah ada). Itu positioning (posisi) dalam menentukan jenis kekerasan seksual yang masuk dalam TPKS karena nilai spesialnya," jelas Willy.

Meski pemerkosaan dan pemaksaan aborsi ditiadakan dalam RUU TPKS, Willy menyebut berbagai elemen masih bisa melakukan penyempurnaan. Namun dengan peluang yang sangat kecil.

"Jadi apakah masih ada proses untuk melakukan penyempurnaan? Ada. Tapi sangat kecil sekali karena ruang tingkat dua paripurna itu bisa mengubah, kalau ada kesepakatan dari anggota dewan dan pemerintah dalam proses itu," ungkapnya.

Ia juga menjelaskan, bahwa dalam proses politik, tidak bisa semuanya dimenangkan. Terlebih, menurutnya, proses politik adalah proses dialogis negosiasi kepentingan.

Bahkan, kata dia, dalam proses negosiasi ini pun tidaklah sempurna, pasti ada kebolongan dan kekosongan.

"Cuma yang kita ingat, jangan hanya karena ingin semuanya, lalu rusak susu belanga karena nila setitik. Kita sudah menantikan ini sejak lama karena RUU TPKS adalah aturan yang dapat memberi perlindungan kepada korban, pencegahan, hukum acara," jelasnya.

Oleh sebab itu, pihaknya memastikan bahwa dalam RUU TPKS Pasal 2 ayat 4 akan dicantumkan tindak pidana kekerasan seksual lainnya.

Artinya, meskipun pemerkosaan dan pemaksaan aborsi tidak spesifik dicantumkan ketika hal tersebut terjadi dan erat dengan kekerasan seksual, hukum acaranya dapat menggunakan apa yang diatur dalam RUU TPKS.

Menurut Willy, hukum acara RUU TPKS merupakan kekuatan khusus karena bisa digunakan oleh jenis kekerasan seksual lain yang ada di beberapa UU sejenis.

"Spirit kekuatan TPKS ini adalah hukum acaranya. Di mana bisa digunakan oleh jenis kekerasan seksual lain yang eksis di beberapa UU sejenis. Ada tindak pidana perdagangan orang, penghapusan KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), perlindungan anak, dll," terangnya.

Perlu diketahui, RUU TPKS tinggal selangkah lagi disahkan menjadi undang-undang. Willy mengaku sudah bersurat kepada pimpinan DPR agar pengesahan RUU TPKS dapat menjadi salah satu agenda dalam rapat paripurna terdekat.

Ia menargetkan, RUU TPKS dapat disahkan menjadi undang-undang sebelum DPR memasuki masa reses tanggal 15 April 2022.

"Paripurna masih ada dua kali lagi, paripurna tanggal 12 April dan paripurna tanggal 14 April. Saya berusaha dan sudah komunikasi pada pimpinan kalau bisa (RUU TPKS disahkan) di paripurna tanggal 12 April," ujar Willy.

Baca Juga: Baleg DPR RI Setuju RUU TPKS Dibawa ke Paripurna, tapi Fraksi PKS Menolak



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x