Kompas TV bbc bbc indonesia

Kerangkeng Manusia di Langkat: Mengapa Polisi Belum Tetapkan Tersangka?

Kompas.tv - 14 Maret 2022, 19:10 WIB
kerangkeng-manusia-di-langkat-mengapa-polisi-belum-tetapkan-tersangka
Polda Sumatera Utara melakukan autopsi jenazah Abdul Sidik Isnur, salah satu korban kerangkeng manusia Bupati Langkat nonaktif Terbit Rencana Paranginangin, Sabtu (12/2/2022). Korban dimakamkan di TPU Pondok 7, Kelurahan Sawit Sebrang, Kecamatan Sawit Sebrang, Langkat, Sumut. (Sumber: KOMPAS TV/DEDY ZULKIFLI TARIGAN)
Penulis : Edy A. Putra

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Sumatera Utara mengatakan pengusutan kasus dugaan kekerasan dan perbudakan di kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat "berjalan lambat".

Pegiat Kontras, Adinda Zahra Noviyanti, mengatakan lambatnya penanganan kasus ini, salah satunya, dipicu oleh adanya dugaan keterlibatan anggota TNI-Polri dalam kekerasan di kerangkeng itu.

Hal serupa disampaikan Wakil Ketua LPSK, Maneger Nasution, yang menyatakan "tarik menarik kekuatan politik lokal" yang dimiliki Bupati Langkat non-aktif, Terbit Rencana Perangin-angin, turut berpengaruh dalam kasus ini.

"Bahwa ada oknum-oknum yang selama ini terlibat, baik TNI-Polri, ormas, dan kekuatan lokal itu sedikit banyak mempengaruhi proses jalannya hukum dalam kasus ini," kata Maneger kepada BBC News Indonesia, Minggu (13/3).

Baca juga:

LPSK menduga "ada lebih banyak" oknum TNI-Polri yang diduga terlibat selama kerangkeng manusia itu beroperasi sejak 2010, yang juga harus diusut secara tuntas. Sedangkan temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menunjukkan anggota TNI-Polri diduga turut terlibat melakukan kekerasan.

Komnas HAM juga menyebut Bupati Terbit sebagai "aktor oligarki lokal", sehingga aparat penegak hukum "mengabaikan" perbudakan dan penganiayaan di kerangkeng itu selama belasan tahun.

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, mengatakan telah memberikan nama 19 orang, termasuk anggota TNI-Polri, yang diduga menjadi pelaku kekerasan.

Namun, polisi belum menetapkan satu pun tersangka hingga Minggu (13/3) sejak kerangkeng manusia itu ditemukan petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat menggeledah rumah Bupati Terbit pada 19 Januari 2022.

Kepala Bidang Humas Polda Sumatera Utara, Komisaris Besar Hadi Wahyudi, membantah anggapan bahwa penanganan kasus ini berjalan lambat.

Dia juga membantah adanya dugaan bahwa proses penyidikan terpengaruh oleh keterlibatan anggota TNI-Polri maupun kekuatan politik yang dimiliki Bupati Terbit.

"Enggak ada itu. Penyidik bekerja profesional dan sesuai fakta. Anggota yang terlibat tidak akan ragu ditindak," kata Hadi kepada BBC News Indonesia.

Mengapa kasus ini dianggap berjalan lambat?

Adinda Zahra Noviyanti dari Kontras Sumatera Utara mengatakan polisi semestinya sudah memiliki alat bukti yang cukup, berdasarkan temuan di lapangan dan keterangan saksi, untuk menetapkan tersangka dalam kasus ini.

Tetapi, hingga hampir dua bulan sejak kerangkeng manusia itu pertama kali terungkap ke publik, polisi masih belum menetapkan satu pun tersangka.

Padahal Komnas HAM dan LPSK juga telah merilis hasil penyelidikan yang menunjukkan bahwa "kekerasan, perbudakan, kerja paksa, hingga praktik perdagangan orang betul terjadi" di kerangkeng itu.

"Alat bukti juga sudah disita juga sama kepolisian, jadi kami merasa sebetulnya kepolisian sudah punya cukup bukti untuk menetapkan setidaknya satu tersangka dalam kasus ini," kata Adinda.

Kontras mengatakan dugaan keterlibatan anggota TNI-Polri menjadi salah satu faktor yang memicu lambatnya penanganan kasus ini.

"Pada banyak kasus yang Kontras tangani, ketika kasusnya melibatkan personil TNI-Polri, pasti ada keengganan untuk menyelesaikan kasus itu," kata Adinda.

Dalam kasus ini, dia mendesak Polri transparan dalam mengungkap keterlibatan anggotanya yang diduga terlibat.

"Jangan sampai itu jadi bahan pertanyaan besar, kenapa akhirnya dalam kasus yang melibatkan pejabat publik, orang-orang di kepolisian dan TNI, orang-orang yang punya kuasa, dalam hal ini kasus kerangkeng Lahat, proses penetapan tersangkanya sangat lambat," ujar dia.

Wakil Ketua LPSK Maneger Nasution juga mempertanyakan mengapa polisi belum menetapkan satu pun tersangka dan menyebut penanganan kasus ini "terkesan lambat".

Bahkan korban dan saksi yang melapor ke LPSK belum satu pun dimintai keterangan oleh polisi.

"Sampai sekarang proses hukum mereka belum jalan, jadi hak-hak [saksi[ belum semua kami penuhi, misalnya kalau mereka dipanggil dan dimintai keterangan kami dampingi mereka sampai persidangan, tapi sampai sekarang belum ada," ujar Maneger.

Seperti apa dugaan keterlibatan anggota TNI-Polri?

Dalam hasil penyelidikan yang dirilis pada awal Maret lalu, Komnas HAM mengatakan ada beberapa anggota TNI-Polri di antara 19 orang yang diduga turut melakukan kekerasan di kerangkeng itu.

Selain itu, Komnas HAM menemukan "ada anggota Polri yang menyarankan agar warga setempat yang melakukan tindak kriminal ditempatkan di kerangkeng itu alih-alih ditangani oleh kepolisian".

Komnas HAM telah menyampaikan nama serta pangkat dari anggota TNI-Polri yang diduga terlibat itu kepada Polri maupun Pusat Polisi Militer Angkatan Darat.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan indikasi keterlibatan mereka juga terlihat dari bagaimana para penegak hukum "jelas-jelas mengabaikan" praktik perbudakan dan kekerasan itu selama belasan tahun.

"Kenapa ada pengabaian, itu antara ikut menikmati, atau takut karena dia tahu ada kekuatan yang lebih besar yang melindungi itu, jadi mereka cari aman."

"Kan dia (aparat) lihat sendiri kerangkeng itu, bahkan melakukan kekerasan di kerangkeng itu. Bagaimana aparat bisa datang rutin ke situ kalau dia enggak dapat sesuatu, kan enggak mungkin. Sekarang hanya perlu pembuktian lebih jauh," jelas Taufan kepada BBC News Indonesia, Minggu (13/3).

Kasus perbudakan dan kekerasan ini, lanjut dia, juga menunjukkan adanya "kejahatan bisnis" yang lebih besar dilakukan oleh Bupati Terbit, yang jelas-jelas diketahui oleh aparat penegak hukum namun tak pernah ditindak.

Sebab, Bupati Terbit dia sebut sebagai "aktor oligarki lokal" sekaligus "ninja sawit", istilah lokal untuk mafia sawit, "yang memiliki jaringan kuat dengan aparat TNI-Polri".





Sumber : BBC


BERITA LAINNYA



Close Ads x