Kompas TV nasional budaya

Kisah Tionghoa Pasar Baru tentang Imlek di Jakarta Awal Abad 20

Kompas.tv - 24 Januari 2022, 11:05 WIB
kisah-tionghoa-pasar-baru-tentang-imlek-di-jakarta-awal-abad-20
Suasana pecinan Pancoran, Jakarta tempo dulu (Sumber: Kompas.com)
Penulis : Hasya Nindita | Editor : Iman Firdaus
 

JAKARTA, KOMPAS.TV- Tio Tek Hong adalah warga Pasar Baru, yang mengisahkan kehidupan kota kelahirannya, Jakarta, pada pertengahangan tahun 1900-an. 

Kisah itu dibukukan dengan judul Riwayah Hidup Saja dan Keadaan Djakarta dari tahun 1882 sampai Sekarang: Tio Tek Hong, 1959.

Nukilah buku tersebut kemudian diterbitkan Majalah Intisari tahun 1987, berkisah kehidupan warga Batavia (Jakarta) sejak peristiwa meletusnya Gunung Krakatau hingga tahun 1950-an. Salah satu yang menarik adalah peristiwa sincia atau imlek hingga capgome, yang melukiskan kemeriahan perayaan tahun baru Cina tersebut. Begini penuturannya:

Baca Juga: Jelang Imlek 2537, Warga Tionghoa Di Makassar Cuci patung Dewa

Saya lahir di sebuah rumah di tepi Jl. Raya Pasar Baru di Batavia pada tanggal 7 Januari 1877 Ketika itu pasar baru sudah merupakan daerah pertokoan, tetapi keadannya masih lengang.

Meski demikian, tepi jalannya ditumbuhi pohon asam yang rindang. Rumah bertingkat belum ada, begitu pun pedagang kaki lima.

Setiap tahun menjelang tahun baru Cina (sincia), para nyonya rumah sibuk membersihkan tempat tinggal mereka. Pintu dan jendela dicat, dinding dikapur. 

Semasa saya masih kecil, bibi saya repot menyuruh pelayan menumbuk bahan-bahan untuk membuat kue satu. Kue satu itu dicetak di cetakan kayu. Kue yang kebetulan tercetak kurang bagus diberikan kepada saya dan adik-adik, sehingga kami selalu berdiri dekat para bibi.

Mereka juga membuat pelbagai macam manisan. Kami, anak-anak, mendapat baju dan celana dari sutera, yang disebut pangsi.

Kakak saya membeli petasan untuk dibakar pada malam dan hari tahun baru. Besarlah kegembiraan hati anak-anak pada masa tahun yang berlangsung lima belas hari itu.

Tepat pada hari tahun baru, pagi-pagi anak-anak harus bersembahyang di hadapan abu leluhur. Sesudah itu kami harus memberi hormat kepada orang tua dan anggota keluarga yang lebih tua di rumah kami sendiri.

Kemudian kami beramai-ramai digiring ke rumah sanak keluarga yang lebih tua. Kesempatan itu menyenangkan, karena setiap memberi hormat dengan bersoja, kami mendapat angpau, yaitu uang yang dibungkus dengan kertas merah.

Kami pun membeli petasan cabai merah (yang agak besar) dan petasan rawit (yang kecil-kecil).

Baca Juga: Jelang Imlek, Pesanan Barongsai Meningkat Hingga 60 Persen

Tanjidor mengamen dari rumah ke rumah. Pada malam kesembilan, yaitu saat sembahyang Tuhan Allah dan pada waktu capgome di malam kelimabelas, pelbagai tontonan mengadakan pertunjukan keliling. 

Ada tontonan bernama "Gajah Dungkul". Gembalanya memukul tambur kecil sambil bernyanyi:

Gajah saya gajah dungkul
Kasih makan rumput sepikul
Saya beberes belum betul
Yang nonton sudah kumpul

Pepaya matang dari Kramat
Saya datang kasih selamat
Panjang umur serta sehat
Banyak rezeki biarlah dapat.

 



Sumber : Kompas TV

BERITA LAINNYA



Close Ads x